Galih Mencari Jodoh

Bram dan Galih duduk di balkon apartemen Bram selepas berbuka puasa. Di atas meja kecil di dekat mereka, tergeletak dua gelas kopi yang mulai mendingin.

Bram menghela napas panjang, menikmati pemandangan lampu-lampu kota yang mulai menyala lengkap di kejauhan. Di sampingnya, Galih tampak masih menyimpan gurat kegelisahan di wajahnya.

"Duh, Bram," keluh Galih, mengaduk kopinya tanpa semangat. "Lebaran tinggal seminggu lagi, kok ya masih gini-gini aja statusnya."

Bram terkekeh pelan. "Gini-gini gimana maksudmu, Lih? Karir bagus, tampang lumayan, kurang apa coba?"

"Ya itu dia, kurang 'pendamping' buat salat Ied sama makan opor bareng keluarga," jawab Galih dengan nada getir. "Ditanyain terus sama bude-bude, kan nggak enak."

Bram menyeringai jahil. "Hmm, kalau kriteria kamu yang kalem, nggak banyak nuntut, tapi setia menemani di dapur, aku punya kenalan nih."

Galih mengangkat alisnya, tertarik. "Serius kamu, Bram? Siapa?"

Bram menunjuk ke sudut balkon, tempat sebuah rice cooker berwarna putih bersih dengan tutup kaca tergeletak di atas kursi kecil. "Nih putih bersih, nggak pernah protes soal menu, kerjanya cuma masak nasi, tapi hasilnya selalu memuaskan. Dijamin deh, lebaran kamu nggak bakal kelaparan."

Galih mengerutkan kening, lalu mengikuti arah pandangan Bram. Dia tertegun melihat alat masak itu.

"Maksudmu... rice cooker ini?" tanya Galih, sedikit tak percaya.

Bram tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, iya, Lih! Calon idaman kan? Putih, pendiam, jago masak lagi. Dijamin deh, nasi kamu nggak bakal gosong pas lebaran nanti!"

Galih mendengus pura-pura kesal, meskipun sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas. "Bisa aja kamu, Bram. Kirain beneran mau ngenalin."

Galih menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Ada-ada aja kamu. Tapi... Enak ya kalau punya istri," kata Galih, menerawang pandangannya ke arah lampu-lampu kota yang berkelap-kelip.

"Habis Lebaran bisa diajak liburan, bulan madu gitu... naik kapal pesiar kayak di film-film."

Bram yang sedang menyesap kopinya langsung tertawa mendengar khayalan Galih. "Wih, Kapal pesiar dari Jupiter? Jangan-jangan kapal pesiar hasil ikut bisnis MLM yang lagi heboh di kantor sebelah?"

Galih mengerucutkan bibirnya. "Ya nggak lah! Kalau udah punya istri beneran, ya nabung bareng-bareng lah buat liburan impian."

Tiba-tiba, Bram berdiri dan merentangkan tangannya lebar-lebar, bergaya dramatis menghadap pemandangan kota. Istrinya, Rina, yang baru saja keluar dari pintu balkon sambil membawa camilan, hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah suaminya.

"Nah, ini dia kapalku!" seru Bram dengan nada bersemangat, menunjuk ke arah hamparan lampu kota seolah itu adalah lautan luas dengan kapal pesiar mewah.

Rina tersenyum tipis dan meletakkan nampan berisi gorengan di meja.

Bram kemudian menarik tangan Rina, mengajaknya berdiri di tepi balkon. Dia berusaha meniru adegan ikonik Jack dan Rose di film Titanic.

Bram berdiri di belakang Rina, melingkarkan tangannya di pinggang istrinya, sementara Rina mendongakkan kepala, membayangkan angin laut menerpa wajahnya.

Namun, angin sore yang bertiup dari arah pegunungan justru menerpa wajah Bram dan Rina dengan cukup kencang. Rambut Bram sedikit berantakan, sementara rambut panjang Rina menari-nari di sekitar wajahnya.

Ekspresi Bram dan Rina yang tadinya berusaha terlihat dramatis, malah terlihat lucu akibat terjangan angin. Mata mereka sedikit menyipit dan mereka berusaha menahan tawa.

Galih yang menyaksikan adegan itu dari kursinya tidak bisa menahan tawanya. "Hahaha! Itu lebih mirip lagi kena blower, bukannya romantis, malah kayak lagi rebutan napas!"

Bram dan Rina yang menyadari betapa absurdnya adegan itu, yang akhirnya mereka ikut tertawa terbahak-bahak.

Bram melepaskan pelukannya dan merapikan rambutnya. "Mungkin sebenarnya seperti ini juga ya Jack dan Rose. Dengan kecepatan kapal dan angin, mestinya mereka tidak bisa saling ngomong, sebab mau berkata-kata, paling cuma bisa megap-megap," celotehnya.

Adzan isya pun berkumandang,"Ayok, taraweh di mushola di tower 2. Siapa tahu ada cewek yang bisa kamu ajak kenalan," ajak Bram.

Galih mengangguk antusias. Ini adalah kali pertamanya salat tarawih di mushola apartemen Bram. Mereka berdua bergegas menuju tower yang dimaksud.

Sesampainya di lantai dasar tower 2, Bram menunjuk sebuah pintu dengan papan nama sederhana, "Mushola Al-Ikhlas".

Dengan langkah lebar karena semangat, Galih berjalan lebih dulu dan langsung membuka pintu di sebelah kanan. Tetapi, begitu kakinya melangkah masuk, dia langsung merasakan ada yang aneh. Ruangan itu dipenuhi jamaah yang semuanya wanita, lengkap dengan mukena berwarna-warni. Beberapa ibu-ibu menoleh ke arahnya dengan tatapan terkejut dan sedikit bingung.

Seketika, Galih membeku di tempat. Matanya membulat menyadari kesalahannya. "Eh... maaf... salah masuk!" ucapnya gugup, wajahnya langsung memerah padam.

Belum sempat dia berbalik sepenuhnya, Bram yang menyusul dari belakang langsung menarik kerah belakang baju Galih dengan sedikit kasar. "Heh! Mau ngapain kamu?!" bisik Bram dengan nada marah bercampur geli.

Sambil menarik Galih keluar dari ruangan jamaah wanita, Bram melanjutkan dengan suara tertahan agar tidak terlalu keras, "Kalau mau kenalan sama cewek yow jangan sampai segitunya!"

Galih yang sudah terseret keluar hanya bisa cengengesan malu. "Ya... ya maaf, Bram. Aku kan baru pertama kali ke sini, nggak tahu kalau pintunya beda." Dia menunjuk ke pintu di sebelah kiri yang ternyata baru terlihat jelas ada tulisan "Jamaah Pria".

Bram menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. "Dasar! disuruh  kenalan, eh malah langsung nyasar ke sarangnya. Untung belum ada yang teriak!"

Wajah Galih masih terasa panas. Beberapa ibu-ibu yang tadi sempat melihat kejadian itu tampak tersenyum-senyum kecil. "Aduh, malunya..." gumamnya dalam hati.

Bram dan Galih akhirnya bergabung dengan jamaah pria yang sudah memulai salat Isya. Imam membaca surat dengan tempo yang normal dan gerakan yang biasa saja.

Tetapi, berbeda ketika shalat tarawih, bacaan dan gerakan imam cukup cepat, khas tarawih yang memang seperti dikejar waktu.

Baru saja Galih menyelesaikan ayat ketiga bacaan Surat Al-Fatihah, imam sudah rukuk. Masih baru rukuk, imam sudah bangkit. Baru beranjak i'tidal, imam sudah sujud.

Sujud pun terasa singkat, seolah Galih hanya menempelkan dahi sebentar di sajadah sebelum kembali berdiri.

"Ini... tarawih apa lomba lari maraton, Bram?" bisik Galih di sela-sela sholat, berusaha tidak terlalu keras agar tidak mengganggu jamaah lain.

Bram yang berada di sebelahnya hanya mengangkat bahu dan tersenyum kecil. "Sudah biasa di sini. Biar cepat istirahat, tidur."

Selesai taraweh, sembari sedang mencari-cari sendal, "Ya ampun, Bram, ini tarawih tercepat yang pernah aku ikuti seumur hidupku. Kayak lagi main film Squid Game!"

Bram terkekeh pelan. "Nikmati saja. Anggap saja ini latihan fisik kilat setelah seharian duduk di kantor."

Galih hanya memutar mata, merasa malu melihat ibu-ibu yang keluar mushola bersamaan dengannya. Dia masih sedikit trauma dengan kejadian salah masuk sebelumnya.

Galih mulai mencari-cari sandal jepitnya yang berwarna biru tua. Masalahnya, sandal yang dipakainya ini adalah pinjaman dari Bram, jadi dia tidak terlalu familiar dengan detailnya.

Tiba-tiba, matanya terpaku pada sepasang sandal jepit biru tua yang persis sama dengan yang dicarinya, tergeletak di rak paling bawah. Dia meraihnya, namun bersamaan dengan itu, sebuah tangan halus juga menyentuh sandal yang sama dari arah berlawanan.

Galih mendongak dan mendapati seorang wanita muda berparas ayu dengan hijab berwarna krem sedang menatap sandal di tangannya dengan sedikit bingung. Wajahnya terlihat lembut dan senyum tipis menghiasi bibirnya.

"Eh, maaf," ucap wanita itu dengan suara lembut. "Sepertinya itu sendal saya."

Galih tersenyum canggung. "Iya, sepertinya begitu." Dia memperhatikan sandal di tangan wanita itu, merek dan warnanya benar-benar identik. "Sendal yang saya pakai punya temen saya soalnya, jadi saya kurang hafal betul."

"Oh, begitu," balas wanita itu sambil tertawa kecil. "Saya juga sering tertukar sandal di sini. Memang banyak yang modelnya mirip."

"O, begitu ya," timpal Galih, merasa sedikit lebih percaya diri. "Saya Galih, kebetulan baru pertama kali tarawih di mushola ini."

Wanita itu menyambut dengan ramah. "Saya Aisyah. Selamat datang di mushola Al-Ikhlas kalau begitu."

Jantung Galih tiba-tiba berdebar lebih kencang dari saat mengikuti tarawih kilat tadi. "Aisyah? Nama yang indah," pikirnya.

"Jadi... bagaimana ini dengan sandalnya?" tanya Aisyah sambil tersenyum manis, mengalihkan perhatian mereka kembali ke sepasang sandal jepit identik di antara mereka.

Bram yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari mereka, sambil pura-pura mencari sandalnya sendiri, kini mendekat dengan senyum lebar. "Wah, wah, ada yang kenalan nih!" celetuk Bram dengan nada menggoda.

Galih dan Aisyah sama-sama tertawa kecil mendengar celetukan Bram.

"Nah, itu punya Mas Galih sepertinya," kata Aisyah sambil menunjuk sandal yang lebih besar, tak jauh dari mereka.

"Alhamdulillah kalau begitu," ujar Galih lega. "Terima kasih, Aisyah."

"Sama-sama, Mas Galih," balas Aisyah. "Senang bertemu dengan jamaah baru di sini."

"Saya juga senang bertemu dengan Aisyah," kata Galih, berusaha menahan senyum lebarnya. "Semoga kita bisa bertemu lagi di tarawih berikutnya."

"Insya Allah," jawab Aisyah sambil tersenyum dan mengangguk sopan. Dia kemudian berpamitan untuk pulang.

Galih menatap punggung Aisyah yang menjauh dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.

Kemudian Bram menepuk kepala Galih dan berkata, "Ayok, pulang, bukannya sholat malah tidur."

Galih kaget dan linglung. Dia duduk dan menyadari, ternyata dia ketiduran saat sujud di rakaat terakhir Sholat Witir.

Galih menggeleng lesu. Pertemuannya dengan Aisyah ternyata hanya mimpi.

"Ayo, pulang," ajak Bram. 

Galih mengangguk, merapikan sajadahnya, lalu berjalan dengan Bram.

Dalam perjalanan pulang menuju unit apartemen Bram, Galih dan Bram berdiri berdampingan di dalam lift yang dipenuhi oleh jamah tarawih lainnya.

Galih masih terdiam, pikirannya melayang pada sosok Aisyah dalam mimpinya. Keingintahuan membuatnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Bram," panggil Galih pelan, dengan nada sedikit bersemangat. "Di apartemenmu ini... apa ada penghuni yang namanya Aisyah?"

Bram yang sedang memainkan ponselnya mendongak. "Aisyah? Hmm, kayaknya ada deh." Dia tampak berpikir sejenak. "Oh, iya! Aisyah, ada!"

Mata Galih membulat, tapi kali ini dengan ekspresi berbinar. "Beneran ada, Bram? Aisyah?" Tiba-tiba mimpinya terasa seperti pertanda.

"Iya, istrinya Pak Jenderal Agung itu, yang tinggal di penthouse lantai paling atas." kata Bram.

Senyum di wajah Galih langsung memudar. Ekspresi berbinarnya berganti dengan keterkejutan dan sedikit kekecewaan yang kentara.

"Ibunya ramah sih, sering ketemu kalau lagi nunggu lift. Tapi ya... usianya sudah lumayan lah, sekitar lima puluh enam tahunan kalau nggak salah." jelas Bram, "Kenapa? Kamu kenal?"

"Oh... begitu," jawab Galih dengan nada datar, berusaha menyembunyikan kekecewaannya yang baru saja menguap. "Kirain... ada yang lain."

Bram menatap Galih dengan tatapan menyelidik, seolah bisa membaca perubahan ekspresi cepat di wajah sahabatnya. "Kirain kenapa, Lih? Kamu ketemu Ibu Aisyah di mushola tadi?" tanyanya dengan nada sedikit menggoda.

Galih menggeleng cepat, wajahnya kembali terasa panas. "Nggak... nggak kok. Cuma... penasaran aja." Dia tidak ingin menceritakan mimpinya yang terasa bodoh itu.

Pintu lift terbuka di lantai Bram. Mereka berdua keluar dan berjalan menuju unit apartemen. Keheningan sempat menyelimuti mereka.

Bram membuka pintu, mempersilakan Galih masuk.

Mereka duduk kembali di balkon, menikmati sisa kesejukan malam.

"Jadi," Galih memutuskan untuk menceritakan mimpinya, meskipun merasa sedikit malu. "Sebenarnya... tadi pas aku ketiduran, aku mimpi ketemu seorang wanita di mushola. Namanya Aisyah. Dia... ya... baik, ramah, dan kita sempat ngobrol soal sandal yang tertukar," lanjut Galih dengan wajah sedikit merona. "Makanya, pas di lift, aku jadi penasaran apa ada penghuni sini yang namanya sama."

Bram tertawa pelan, kali ini tidak menggoda. "Oh, jadi gitu ceritanya. Gini deh, Lih. Anggap aja mimpi itu kayak preview film yang belum tayang. Mungkin ada benernya, mungkin juga nggak. Tapi yang pasti, kamu nggak bisa cuma nungguin 'Aisyah' dari mimpi itu tiba-tiba muncul di depan pintu. Kamu juga harus usaha."

Bram kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi balkon, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. "Lagian, nama Aisyah itu kan banyak. Bisa jadi memang ada Aisyah lain di apartemen ini. Iya kan?"

Comments

Cerita dalam blog ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah ketidak-sengajaan penulis untuk jalannya cerita. Dan Blog ini adalah bagian dari Usaha di bawah nama branding Edugameapp yang menyediakan layanan berupa cerita pendek bergenre umum, humor dan horor yang diperuntukkan untuk pengguna internet dewasa.

Popular posts from this blog

Cerita Hantu Berantai episode III: Kontrakan

Cerita Hantu Berantai episode I: Kampung

Dibalik Naiknya Belanja Sri

Kisah Horor: Panggilan Ayah

Antara Karma dan Nasib

Sahur Sendiri bersama Kunti

Dibangkitkan sebagai Pezina

Cerita Hantu Berantai episode II: Kantor