Lurah Sukirman

Pak Lurah Sukirman sedang resah. Duduk di kursi plastik biru yang sudah miring sebelah, dia menatap jalan desa yang sepi seperti dompet pegawai honorer akhir bulan. Isu tentang ijazah palsunya kembali menghangat seperti gorengan dua ribu dapat tiga, yang baru ditiriskan.

"Katanya ijazah saya tidak terdaftar di Kementerian Pendidikan," gumamnya sambil mengaduk kopi sachet yang airnya kebanyakan. "Gimana ke daftar, lha wong dulu pas saya lulus, komputer aja masih langka. Apalagi database online!"

Tiba-tiba, Jono, sopir pribadi sekaligus komentator tidak resmi urusan rumah tangga, muncul dari balik pagar.

"Pak Lurah," katanya sok bijak sambil duduk di bangku sebelah, "jangan dipikir aneh-aneh soal anak. Anak itu rejeki dari Tuhan."

Pak Lurah menoleh pelan. "Kamu itu ngomong apa to Jon? Anak-anak, lha aku nikah aja belum."

Jono mengangguk, "Maaf ya Bos, situ sendiri yang ngaku, kalau situ jomblo," sembari tertawa kecil mengejek.

Pak Lurah hanya bisa mengelus dada dan jidat. Tiba-tiba keduanya pening mendengar celotehan Jono.

"Situ boleh kaya, tapi kalau masalah jodoh, saya lebih unggul daripada panjenengan, Bod" ucap Jono sambil menunjukkan foto istrinya sebagai wallpaper di handphonenya.

"Unggul-unggul, buathuk-mu!" sahut Pak Lurah.

Jono pun mengusulkan solusi digital.

"Nih Bos, daftar aja di aplikasi Jomblo Milenial. Siapa tahu ketemu cewek milenial yang masih percaya cinta dan Pancasila."

Melihat foto yang terpajang diaplikasi itu adalah wanita-wanita yang terlihat sudah kelewat dewasa, "Ini sih cewek kolonial Jon! Bukan milenial" seru Pak Lurah. "Kasih saran itu mbok ya yang bener! Mikir!"

Tak lama, seorang warga menghampiri, "Permisi, Pak Lurah," katanya sambil sedikit membungkuk.

"Oh, Muslih! Mari," sambut Pak Lurah, sedikit penasaran. "Ada perkembangan soal... itu... penggelapan mobil Bripka Slamet?"

Muslih mengangguk dengan ekspresi misterius. "Begini, Pak Lurah. Saya kemarin tidak sengaja melihat Bripka Slamet di bengkelnya Pak Udin. Dia sedang... ehm... memamerkan mobil 'baru'-nya."

"Mobil baru?" Pak Lurah mengerutkan kening. "Mobil dinas?"

"Nah, justru itu, Pak Lurah," jawab Muslih dengan nada berbisik seolah akan membocorkan rahasia negara.

"Mobilnya yang itu memang masih ada, tapi... yang di bengkel, warnanya item, bukan putih, Pak Lurah!"

Pak Lurah terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi penting ini. "Ganti warna? Maksud kamu? Jadi, benar dia 'menggelapkan' mobil?"

Muslih menggelengkan kepala dengan dramatis. "Bukan digelapkan dalam arti dijual atau disembunyikan, Pak Lurah. Tapi digelapkan... ya, warnanya itu lho! Dari putih jadi hitam! Tapi itu juga mobil Pak Slamet sendiri. Bukan yang mobil dinas itu."

"Lho, terus kenapa heboh satu desa?" tanya Pak Lurah, mulai merasa ada yang lucu.

"Ya, karena awalnya tidak ada yang tahu, Pak Lurah!" jelas Muslih. "Warga mengira penggelapan yang dilakukan Pak Slamet ya penggelapan yang begitu."

Pak Lurah menghela napas. "Jadi, Bripka Slamet ini menggelapkan mobilnya sendiri dengan cat, bukan menggelapkan aset negara?"

Muslih terkekeh. "Sepertinya begitu, Pak Lurah."

Kemudian, "Ya, sudah. Ayo Jon, Muslih, ikut aku ke rumah Pak Bejo!" ajak Pak Lurah.

"Lah, duduk aja belum saya!" jawab Muslih.

"Iya, Bapak ini, ndak kasihan sama Muslih," sahut Jono. "Lagian ngapain Pak, ke rumah Pak Bejo. Panas. Males. Saya sibuk Pak, mau kerja!"

Sambil membereskan barang-barangnya yang berada di meja kecil di depannya. "Woo, dasar. Kamu itu kan kerja jadi supirku to Jon!" kata Pak Lurah.

"Eh, iya..ya. Saya kan supir Pak Lurah," kata lirih Jono sambil cengengesan. "Lurah Jomblo.. Milenial".

"Apa katamu?" sahut Pak Lurah pura-pura tidak mendengar, "Tak efisiensi, ngarit kamu!" ancam Pak Lurah.

Mereka bertiga pun masuk ke dalam mobil.

Tidak seperti biasanya, sambil nyetir, hari itu Jono menyanyi lagu lawas dengan suara yang bisa bikin ayam kampung kabur ke kota.

"Suaramu itu, Jon," kata Pak Lurah, "sungguh bakat terpendam."

Jono tersenyum lebar. Diiringi Muslih yang duduk di bangku depan bersamanya, tersenyum kecut melirik ke arahnya.

"Bakat yang harusnya dipendam saja, dikubur selamanya," lanjut Pak Lurah.

Seketika, Muslih yang sedari tadi menahan diri, meledak dalam tawa terbahak-bahak. Air matanya sampai bahkan sedikit keluar.

Sedangkan Jono, yang awalnya bangga, menoleh ke belakang seraya berkata, "Pujiannya Bos!"

Sampai di rumah Pak Bejo, yang memang hanya lima langkah dari rumah Pak Lurah, "Pak Bejo, kami ke sini mau menagih pajak dari penghasilan channel YouTube jenengan," kata Pak Lurah sopan, mengutarakan kedatangannya.

Pak Bejo, warga yang mendadak kaya dengan Channel YouTube-nya, Bejoman, viral gara-gara video "Si Buta dari Gua Karangkates". Padahal di Karangkates, Kabupaten Malang adanya terowongan kereta api.

Pak Bejo melotot. "Saya rakyat kecil, Pak. Saya males bayar pajak. Ngapain saya bayar pajak yang tidak seberapa, malah pejabat kita pada korupsi triliunan?"

Suasana langsung memanas. Jono siap-siap mengambil panci yang sudah terisi air. "Ngapain kamu Jon?" tanya Muslih berbisik.

"Sudah panas, mau masak air, buat kopi" sahut Jono.

Muslih yang menyadari bahwa mereka belum ngopi sedari rumah Pak Lurah, langsung bergegas membeli kopi sachet-an di warung Mbok Giyem.

"Begini Pak Bejo," kata Pak Lurah mencoba menenangkan, "Yah mungkin sebagian kecil uang pajak Bapak memang di korupsi sama oknum pejabat itu, tapi sebagian kecil juga mungkin digunakan negara untuk menggaji karyawan di KPK, yang telah berhasil menangkap koruptor. Apa Bapak tidak bangga?"

Setelah mendengar bujukan Pak Lurah yang mirip mata pelajaran Kewarganegaraan, Pak Bejo luluh dan bersedia membayar pajak dengan syarat Pak Lurah bersedia diundang sebagai tamu di podcast-nya.

Tidak beberapa lama kemudian, Muslih tiba dengan beberapa bungkus kopi sachet di tangannya. "Mana air panasnya, Jon?" bisik Muslih sambil melirik Pak Bejo yang kini terlihat lebih tenang.

Jono menunjukkan panci berisi air ditangannya. "Lha ini airnya," jawab Jono polos.

"Iya, tapi kok dingin?" tanya Muslih heran.

"Suasananya nggak jadi panas. Jadi airnya ya nggak jadi mendidih." jawab Jono.

Sontak, Pak Lurah dan Pak Bejo saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak.

Ketegangan yang tadinya seperti benang layangan putus, kini mencair seperti es batu di bawah terik matahari Malang.

Comments

Cerita dalam blog ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah ketidak-sengajaan penulis untuk jalannya cerita. Dan Blog ini adalah bagian dari Usaha di bawah nama branding Edugameapp yang menyediakan layanan berupa cerita pendek bergenre umum, humor dan horor yang diperuntukkan untuk pengguna internet dewasa.

Popular posts from this blog

Cerita Hantu Berantai episode III: Kontrakan

Cerita Hantu Berantai episode I: Kampung

Dibalik Naiknya Belanja Sri

Gulungan sang Raja

Desainer Agak-agak

Ada Semut Dibalik Gula

Dibalik Aplikasi Jomblo Milenial