Gulungan sang Raja
Di sebuah Kerajaan yang dulunya tenteram, kini dipimpin oleh seorang Raja yang kebijaksanaannya dipertanyakan.
Awal mula keraguan muncul ketika beredar selebaran-selebaran dari bromocorah, tentang salinan gulungan ilmu sang Raja ketika muda.
Keanehannya, lukisan beliau dalam salinan itu tampak begitu tampan, namun dengan hiasan kepala yang megah. Padahal katanya, pemerintah penjajah kala itu melarang atribut kebesaran apapun dalam gulungan, yang dianggap kurang sopan.
Sontak, bisik-bisik tentang keaslian silsilah dan legitimasi keilmuan Raja pun berhembus kencang di kalangan rakyat.
Padepokan Agung, yang selama bertahun-tahun menjadi kebanggaan kerajaan sebagai pusat ilmu pengetahuan, ikut terseret pusaran kontroversi. Bukannya segera meluruskan perihal keabsahan gulungan ilmu sang Raja, mereka malah disibukkan dengan masalah internal yang lebih pelik.
Seorang sesepuh yang disegani, yang konon menguasai berbagai ilmu kanuragan dan kebatinan, justru tersandung skandal dengan salah satu muridnya, yang membuat para sesepuh lain padepokan menggeleng-gelengkan kepala.
Kabarnya, sesepuh itu menggunakan ilmu rogoh Sukmo, untuk me-ruda paksa muridnya yang kini sudah hamil 7 bulan.
Akibatnya, rencana penyelidikan gulungan Raja terpaksa ditunda. "Saat ini, kehormatan Padepokan adalah yang utama," begitu sabda juru bicara Padepokan dengan wajah tertunduk.
Gelombang unjuk rasa tak terhindarkan. Rakyat yang meragukan keabsahan Raja turun ke alun-alun dengan panji-panji bertuliskan pertanyaan-pertanyaan pedas. "Tinggal tunjukkan gulungan yang asli begitu saja kok repot," komentar salah seorang rakyat yang tidak akan pernah digubris.
Sedangkan sang Raja dengan santai, terus mengeluarkan titah andalannya, "Hamba bersedia menunjukkan bukti gulungan asli, jika hamba diperintahkan oleh Mahkamah Kerajaan yang bijaksana." titahnya.
Sayangnya, Mahkamah Kerajaan yang diharapkan menjadi penengah justru sedang dilanda intrik internal.
Beberapa Hakim Agung dikabarkan menerima "persembahan" yang nilainya fantastis. Konon persembahan itu berasal dari kasus-kasus Raja-raja dan penasehat-penasehat sebelumnya yang diduga korupsi.
Di tengah riuhnya isu legitimasi Raja, skandal Guru Besar, dan persembahan Hakim Agung itu, pihak kerajaan tak lupa mengeluarkan dekrit kepada rakyat untuk tetap setia membayar upeti demi kemakmuran kerajaan.
Sayang seribu sayang, bagai air hujan jatuh di pasir, kabar tentang para Pangeran dan Menteri yang gemar "mengelola kekayaan kerajaan" untuk kepentingan pribadi justru semakin santer terdengar.
Ditambah lagi, kerajaan harus menanggung beban para pensiunan pejabat yang masa kerjanya cuma lima tahun dan jumlahnya sudah fantastis, yang semakin menguras kas kerajaan.
Mirisnya, pemuda-pemudi desa, banyak yang tidak peduli mengenai kondisi kerajaan itu. Banyak dari mereka justru lebih tertarik untuk menjadi "penyebar kabar ulung". Mereka berlomba-lomba menyampaikan cerita unik, berjoget-joget, atau pun menyebar gosip menarik, dari satu desa ke desa lain, berharap bisa mendapatkan imbalan, tanpa perlu bersusah payah bertani atau berdagang seperti orang tua mereka. "Mengabdi itu melelahkan, yang penting banyak dikenal dan mendapat saweran!" kata sebagian besar dari mereka.
Akhirnya, Kerajaan yang dulunya damai itu pun berubah menjadi panggung sandiwara yang menggelikan.
Sampai suatu hari, di tengah lautan keraguan dan amarah rakyat, badai yang lebih besar itu akhirnya pecah. Seorang utusan dengan napas terengah-engah tiba di alun-alun, membelah kerumunan demonstran. "Mahkamah... Mahkamah Agung... telah memutuskan!" serunya lantang, suaranya menggema di antara riuh rendah.
Seketika, keheningan mencekam menyelimuti alun-alun. Semua mata tertuju pada utusan itu. Para prajurit yang berjaga pun ikut menahan napas.
"Setelah mempertimbangkan segala bukti dan kesaksian..." lanjut utusan itu dengan suara bergetar, "...Mahkamah Agung memerintahkan Raja untuk menunjukkan gulungan ilmu aslinya di hadapan rakyat dan para tetua adat dalam waktu tiga hari!"
Rakyat bersorak gembira, harapan kembali merekah di dada mereka. Namun, di balik tembok istana, Raja yang mendengar putusan itu hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang sulit diartikan.
Tiga hari berlalu dengan cepat, diwarnai dengan antisipasi dan ketegangan yang luar biasa. Alun-alun kembali dipenuhi lautan manusia. Sebuah panggung sederhana didirikan, menghadap langsung ke gerbang istana. Para tetua adat duduk dengan wajah serius, menunggu momen yang akan menentukan nasib kerajaan.
Tepat saat lonceng istana berdentang dua belas kali, gerbang megah itu terbuka perlahan. Sang Raja muncul, tidak mengenakan jubah kebesarannya, melainkan pakaian sederhana berwarna putih. Di tangannya tergenggam sebuah gulungan usang yang tampak rapuh.
Rakyat terdiam. "Inilah saatnya. Kebenaran akan terungkap," kata salah satu rakyat.
Dengan langkah tenang, Raja naik ke atas panggung. Dia membungkuk hormat kepada para tetua adat dan rakyatnya. Lalu, dengan gerakan perlahan, dia membuka gulungan itu.
Namun, alangkah terkejutnya semua yang hadir. Gulungan itu kosong!
Keheningan yang lebih mencekam dari sebelumnya menyelimuti alun-alun. Wajah-wajah yang tadinya penuh harap kini dipenuhi kebingungan dan amarah.
Tiba-tiba, seorang prajurit istana maju ke depan dan berlutut di hadapan para tetua adat. "Ampun, Tuanku," katanya. "Saya adalah bromocorah yang menyebarkan salinan palsu gulungan ilmu sang Raja. Hal ini dikarenakan ayah saya tidak pernah merasa berteman dengan panduka Raja di Padepokan Agung, selama beliau berguru di sana."
Akhirnya. Kebohongan Raja terbongkar di depan mata seluruh rakyat. Kemarahan yang selama ini terpendam akhirnya meledak. Teriakan-teriakan tuntutan keadilan menggema di alun-alun. Para tetua adat saling berpandangan, menyadari bahwa kerajaan mereka berada di ujung tanduk.
Para tetua memutuskan untuk mengasingkan sang Raja beserta keluarganya ke seberang pulau. Beserta para pejabat yang telah menyelewengkan kekuasaannya untuk meloloskan sang Raja.
Dan atas pilihan rakyat, kerajaan mengangkat seorang Raja baru, yang tentunya bukan prajurit yang mengaku menjadi bromocorah di atas.
Comments
Post a Comment