Dibalik Aplikasi Jomblo Milenial
Dito, dengan wajah dibawah standar dan dompet di bawah UMR, masih belum bisa melupakan Kirana, teman satu jurusannya dulu yang selalu jadi gadis pujaannya.
Dulu, saat semester tiga, dengan keberanian seorang mahasiswa yang sedang kasmaran, Dito menyatakan perasaannya. Namun, Kirana, mahasiswa yang penting kuliah lalu menghilang, dengan lantang menolaknya. Alasannya, Dito tidak tampan dan tajir.
Bertahun-tahun berlalu. Dito kini bekerja serabutan dan masih menyimpan rasa penasaran terhadap Kirana. Pasalnya, Kirana yang dulu dia taksir itu, kini di usia 35 tahunnya masih menjomblo.
Hal ini Dito ketahui dari obrolan group WA angkatan kuliahnya. Pasti ada misteri di balik status "single" Kirana. Meskipun kondisinya dia sudah memiliki istri dan seorang anak.
Maka, Dito menghubungi Joni, teman kuliah seangkatannya yang bisa membuatkannya aplikasi media sosial. "Jon, bikinin gue aplikasi perjodohan, dong. Fiturnya standar aja, yang penting bisa lihat profil, foto, sama lokasi real-time pengguna lain."
"Buat apa, Bro?" tanya Joni.
"Bukan urusan lo. Berapa biayanya?"
"Lima juta," jawab Joni enteng.
"Ih, sadis amat," keluh Dito mendengar tawaran harga itu.
Demi mengungkap misteri Kirana, setelah terjadi debat kusir yang sengit, akhirnya disepakati dengan harga jasa 9 juta, dan pajak 990 ribu, yang Dito bayar selama 6,5 tahun, berupa mie instan satu kardus per bulan, nyicil.
Tak butuh waktu lama, dengan bantuan AI, aplikasi "Jomblo Milenial" pun lahir, dengan logo hati yang sudah uzur, dan dipaksakan terlihat artistik.
Dito langsung membuat akun palsu dengan foto model duda ganteng Taiwan. Tujuannya satu, menjebak Kirana dan memata-matainya.
Kemudian Dito pun memutar otak, dia berpikir bagaimana Kirana bisa sampai menjadi member aplikasinya tersebut. Sedangkan budget pemasaran aplikasi perjodohannya jelas dia tidak punya.
Setelah berpikir panjang kali lebar dan kali tinggi, Dito menemukan ide murah, yaitu mencoba tenaga influencer yang baru mulai merintis.
Pilihannya jatuh pada sosok Maya, mahasiswi semester kritis, yang cukup aktif di TikTok dan Instagram dengan follower lumayan, sekitar lima puluh saja. "Yang terpenting, tarif endorse-nya juga masih ramah di kantong" pikirnya.
"Hai, Kak Maya," sapa Dito lewat direct message Instagram, berusaha terdengar profesional namun tetap santai. "Saya Dito, pengembang aplikasi perjodohan baru namanya 'Jomblo Milenial'. Saya lihat engagement Kak Maya bagus, dan follower-nya juga anak-anak kuliahan semester akhir kayak target aplikasi saya."
Setelah beberapa kali bertukar pesan, deal pun tercapai. Maya setuju membuat beberapa story dan satu posting di feed Instagram-nya dengan tarif yang Dito anggap masih bisa dijangkau untuk uang di sakunya.
Maya membuat beberapa story yang menampilkan dirinya sedang mencoba aplikasi Jomblo Milenial, lengkap dengan ekspresi terkejut dan antusias yang dibuat-buat.
Di posting feed, Maya berpose sambil memegang handphone dengan casing segede gaban ditangan Maya yang mungil, menampilkan icon aplikasi, dengan caption yang kurang lebih berbunyi, "Guys, lagi nyobain aplikasi Jomblo Milenial nih! Katanya sih bisa bantu nemuin jodoh. Penasaran? Buruan download! #JombloMilenial #AplikasiPerjodohan #CariJodoh #Mahasiswa #AnakKuliah".
Beberapa jam berlalu, Dito terus memantau notifikasi. Ada beberapa likes dan komentar di posting Maya, kebanyakan dari teman-teman Maya sendiri yang saling roasting. Bahkan ada pengikut Maya yang berkomentar, "Ini aplikasi mucikari sugar daddy?" yang membuat Dito sedikit tersindir.
Tetapi bagaimana juga, jumlah download aplikasi terlihat sedikit meningkat, sayangnya tetap tidak sesuai ekspektasi Dito. "Yah, segini doang?" gumam Dito lesu melihat angka download yang tak kunjung melonjak signifikan.
Ternyata, memanfaatkan influencer "bau kencur" dengan tarif murah memang ada risikonya. Jangkauannya terbatas, dan pengaruhnya mungkin tidak sekuat yang dibayangkan. Dito mulai berpikir, mungkin dia perlu strategi pemasaran lain yang lebih efektif, atau bahkan mencari investor.
Beberapa tahun berlalu, Dito terus memantau sembari membayar cicilan mienya ke Joni hingga lunas. Kirana akhirnya terjaring mendaftar di aplikasinya, dengan profil yang berisi foto-foto liburan. Tetapi, yang menarik adalah kriterianya untuk calon suami bertuliskan, "Wajib punya mobil, tajir melintir, dan hitam manis."
Dito mengernyit. "Standar yang mainstream umum, tapi kenapa belum ada yang memenuhi?"
Kirana beberapa kali terlihat online, tapi tidak ada tanda-tanda dia dekat dengan pria mana pun.
Hingga suatu malam, Dito melihat status Kirana berubah, "Akhirnya... ada yang berani mendekatinya" ucap dalam hatinya, dengan sedikit rasa cemburu.
Dengan fitur pelacak lokasi, Dito kaget, ternyata Kirana sedang berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. "Ngapain dia disini?" tanyanya dalam hati.
Tanpa berpikir lama lagi, dengan motor bututnya, Dito segera meluncur ke lokasi Kirana, lalu duduk bersembunyi dibalik pot tanaman palem besar. Tak lupa dia juga memakai kacamata hitam dan topi, agar Kirana tidak mengenalinya.
Dito mengawasi Kirana dari jauh, jantungnya berdebar, melihat Kirana yang masih cantik, meskipun sudah menjadi perawan tua.
Sebab tidak bisa dipungkiri Dito, bagaimanapun juga, masih ada bekas cinta yang tertinggal dihatinya, meskipun secuil.
Tak lama kemudian, seorang pria berjas parlente datang, dan makan malam bersama Kirana. "Tunggu dulu... itu kan Joni?" umpat Dito dalam hati melihat temannya sendiri yang sedang berkencan dengan gebetannya itu. "Joni memang punya mobil, lumayan tajir karena bisnis aplikasinya (meskipun ecek-ecek), tapi... dia putih?"
Dito terus mengawasi Kirana dari balik rimbunnya daun palem, hatinya sakit melihat tawa renyah Kirana terlihat mesra bersama Joni. Rasa cemburu yang sudah lama terpendam kembali mencuat, bercampur dengan rasa bersalah menyadari bahwa dia sudah memiliki anak dan istri.
Melalui aplikasi "Jomblo Milenial", diantara perbincangan mereka, Joni iseng melihat siapa saja yang berada di sekitar mereka. Betapa terkejutnya Joni melihat ikon duda Taiwan Dito, berada tidak jauh dari meja mereka.
Awalnya Joni bingung, namun begitu mengamati gerak-gerik mencurigakan di balik pot palem, Joni menyadari bahwa itu adalah temannya, dan sedang memata-matai Kirana.
Sebuah ide licik, dengan niat "membantu" muncul di benak Joni.
Sambil bercakap-cakap santai dengan Kirana, Joni diam-diam mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi "Jomblo Milenial" ke akun palsu Dito. Pesan itu berbunyi singkat "Ketahuan lo, bro. Kirana noleh ke arah lo nih."
Dito yang sedang sibuk mengawasi Joni dan Kirana tiba-tiba merasakan getaran di ponselnya. Dia membuka aplikasi dan terkejut membaca pesan dari Joni itu. Matanya langsung tertuju pada Kirana yang kini memang sedang melihat ke arah pot palem dengan tatapan menyelidik.
Wajah Dito pucat pasi. Dia tertangkap basah.
Laknatnya, tiba-tiba Joni sudah berada di belakang Dito,"Eh, ada Dito!" seru Joni dengan nada dibuat-buat, menepuk pundak Dito yang masih membeku di balik pot palem.
Kirana tampak terkejut, lalu sedikit memicingkan mata berusaha mengenali sosok di balik kacamata hitam dan topi itu.
Dengan kikuk, Dito melepaskan kacamata dan topinya. "Jon... Ki... Kirana," sapanya gugup, wajahnya merah padam.
Suasana canggung menyelimuti mereka. Kirana menatap Dito dengan campuran antara heran dan sedikit rasa kasihan.
"Ngapain kamu di sini, Dito?" tanya Kirana akhirnya, suaranya pelan namun menusuk.
Dito menelan ludah. Berbagai alasan berkecamuk di benaknya, namun tak satu pun yang terdengar masuk akal. "Aku... aku kebetulan lewat," jawabnya terbata-bata, menyadari betapa bodohnya alasan itu.
Joni tertawa kecil. "Kebetulan lewat sampai sembunyi di balik pot palem pakai kacamata hitam malam-malam begini?"
Kirana menatap Joni, lalu kembali ke Dito dengan tatapan yang lebih lembut. "Dito, kenapa kamu kami disini?"
Pertanyaan Kirana menohok Dito. Dia hanya terdiam, merenungi perbuatannya. Rasa malu dan bersalah bercampur aduk dalam dirinya. Dia sadar, obsesinya pada Kirana sudah membutakannya. Dia telah menghabiskan banyak waktu dan berkardus-kardus mie instan, untuk sesuatu yang bukan urusannya.
Joni kemudian berinisiatif. "Sudahlah, Ki. Mungkin Dito kangen kamu. Bagaimana kalau kita makan malam bertiga saja? Kebetulan aku belum terlalu kenyang."
Kirana tampak ragu sejenak, namun kemudian mengangguk pelan. "Baiklah." Kirana menyadari, laki-laki dihadapannya itu masih mencintainya.
Malam itu, di meja makan restoran yang remang-remang, ketiganya duduk bersama.
Awalnya suasana masih tegang, namun perlahan mencair berkat celotehan Joni dan pertanyaan-pertanyaan Kirana yang lebih bersifat ingin tahu daripada menghakimi.
Dito pun berani, menceritakan tentang aplikasi "Jomblo Milenial" dengan nada getir, mengakui kebodohannya. Kirana mendengarkannya dengan seksama, sesekali mengangguk atau tersenyum tipis menyadari seseorang didepannya itu masih sungguh mencintainya.
"Jadi, kamu bikin aplikasi ini cuma buat... aku?" tanya Kirana pelan.
Dito menghela napas. "Awalnya, iya. Aku penasaran kenapa kamu masih sendiri. Tapi... sekarang aku sadar, itu bukan urusanku." Dia menatap Kirana dengan tulus. "Itu pilihanmu, dan aku tidak punya hak untuk mencampurinya."
Kirana tersenyum lebih lebar kali ini. "Terima kasih, Dito, sudah menyadarinya."
Malam itu menjadi titik balik bagi Dito. Dia melihat Kirana apa adanya, bukan lagi sebagai sosok ideal yang dia puja-puja sejak lama. Dia melihat seorang wanita dewasa yang memiliki alasan sendiri untuk setiap keputusannya. Kejombloan Kirana bukanlah sebuah misteri yang harus dia pecahkan.
Di tengah obrolan, Dito teringat pada istri dan anaknya di rumah. Rasa bersalah kembali menghantamnya. Dia telah terlalu fokus pada masa lalu hingga melupakan kebahagiaan yang sudah ada di depan matanya.
"Maaf, Ki, Jon," kata Dito tiba-tiba, "aku harus pulang. Istri dan anakku pasti sudah menunggu."
Kirana dan Joni mengangguk mengerti. Joni bahkan menepuk bahu Dito sambil mengacungkan dua jempolnya.
Dalam perjalanan pulang dengan motor bututnya, Dito merenung. Dia menyadari betapa beruntungnya dia memiliki keluarga yang menyayanginya.
Obsesinya pada Kirana hanyalah ilusi masa lalu yang selama ini menghantuinya. Kini, dia tahu ke mana seharusnya dia mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan masa lalu dan fokus pada kebahagiaan keluarganya saat ini.
Comments
Post a Comment