Trauma Efisiensi

Sore itu, sekitar pukul lima, suasana salon mulai sepi. Para pegawai mulai bersiap-siap menutup salon, ketika seorang wanita bergaun putih panjang masuk. Rambutnya menjuntai, kusut, dan terlihat sedikit berantakan.

Santi, pegawai salon yang bertugas, segera menyambutnya. "Selamat sore, Mbak. Mau potong rambut?"

Wanita itu duduk dengan anggun. "Iya, aku mau potong. Harus rapi, biar kelihatan lebih profesional pas kerja nanti malam."

Santi mengangguk. "Siap, Mbak! Mau model gimana?"

"Yang simpel tapi tetap tegas. Aku kerja di lapangan, sering ketemu banyak orang. Jadi harus tetap berwibawa."

Santi mulai menyisir rambut pelanggan ini. Namun, baru beberapa kali sisiran, sesuatu terasa aneh.

Srek… srek…

Santi menatap sesuatu yang bergerak-gerak di sela-sela rambut panjang itu.

Awalnya, santi mengira itu kutu. Tapi setelah dia perhatikan lebih dekat lagi, ternyata itu kecoak.

"KECOAK!" teriak Santi dalam hati.

Santi membeku. Mulutnya menganga ingin berteriak, tapi profesionalisme menahannya. Dia menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Ini cuma ilusi, ini cuma ilusi," pikirnya.

Akhirnya, dengan gerakan sehalus mungkin, dia mengambil sisir dan mencoba mengusir kecoak itu tanpa membuat pelanggan sadar. Dengan kecepatan kilat, dia menyentil kecoak itu ke lantai.

Kecoak mendarat, terbalik sebentar, lalu langsung kabur ke sudut ruangan.

Santi menghela napas lega. Misi berhasil.

Namun, saat dia bersiap mengambil gunting, pelanggan ini tiba-tiba menatap sebuah poster besar yang tertempel di dinding salon.

"Mohon Maaf, Tidak Menerima Karyawan Baru. Salon Sedang Efisiensi."

"Mohon maaf, tidak menerima Karyawan baru, salon sedang efisiensi"

Tiba-tiba, wajahnya pucat. Matanya membelalak. Napasnya menjadi tidak beraturan.

Santi bingung. "Mbak nggak papa? Mau saya ambilkan teh hangat dulu?"

Wanita itu tidak menjawab. Otaknya sudah berputar dalam mode overthinking tingkat tinggi.

"Salon ini sedang efisiensi? Berarti mereka nggak bisa bayar banyak orang. Kalau salon aja harus berhemat, apalagi kantorku! Kalau kantor berhemat, pasti ada efisiensi. Kalau ada efisiensi, aku pasti dipecat!"

Tangannya mulai gemetar. Keringat dingin membasahi dahinya.

"Kalau aku dipecat, gimana nasibku? Aku sudah puluhan tahun di posisi ini! Aku nggak bisa kerja kantoran biasa! Umurku sudah tua. Gimana kalau aku nggak diterima di mana-mana?!"

"Mbak? Kok tangannya dingin banget?" tanya Santi, masih berpikir ini pelanggan biasa yang mungkin kurang sehat.

Wanita itu memegangi kepalanya. "Aku… aku…"

"Aku pasti dipecat!!!"

BRAAAK!

Tiba-tiba, tubuh pelanggan itu ambruk di kursi.

Santi panik. "Mbak? Mbak? Astaga, pingsan?! Sarah! Tolong ambilin minyak angin!"

Sarah pun berlari membawa minyak angin, tapi anehnya, wanita itu tiba-tiba menghilang. Tidak ada jejak, tidak ada bayangan.

Santi melongo. "Lho… kemana orangnya?"

Sarah juga bingung. "Tadi ada yang masuk, kan?"

Santi menggaruk kepala. "Iya… kan tadi aku mau potong rambutnya… Jangan-jangan dia buru-buru pergi karena takut efisiensi?"

Sarah menghela napas. "Ya udahlah, kalau balik lagi sebelum kita tutup, ya kamu dilanjut lagi potong rambutnya." kata Sarah.

Di tempat lain. Wanita bergaun putih itu kini melayang di udara, wajahnya masih syok. Pikirannya masih dipenuhi kepanikan.

Namun, perlahan, sesuatu mulai terasa sangat janggal.

"Tunggu dulu…"

Matanya melebar. Ingatan lama wanita itu kembali.

Wanita itu baru teringat, jika dulunya, dia adalah jin Qorin dari seorang pegawai kantoran yang sangat berdedikasi.

Yang mana ketika kantor tempatnya bekerja mengumumkan program efisiensi besar-besaran, sayangnya pegawai tersebut adalah salah satu dari pegawai yang terkena dampaknya.

Setiap hari, pegawai itu dihantui ketakutan. Dia berusaha terus bekerja keras. Lembur tanpa henti. Bahkan sering datang lebih awal dan pulang paling akhir. Semua demi menjaga pekerjaannya.

Tetapi tubuh pegawai itu mulai menolak. Stres, kelelahan, dan kecemasan terus-menerus membuat kesehatannya memburuk dan jatuh sakit.

Lalu, meninggal.

"Dan aku masih takut juga dengan efisiensi?" gumam wanita itu, yang juga telah menyadari bahwa dirinya telah resmi menjadi Kuntilanak. "Bahkan kalau aku dipecat, aku kan udah nggak perlu kerja lagi? Aku nggak perlu gaji, nggak perlu bayar listrik, nggak perlu makan!"

Angin malam berhembus, membuat dedaunan di sekitar bergoyang pelan. Ketenangan mulai menyelimuti pikirannya. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun lalu, Kuntilanak itu merasa bebas.

Comments

Cerita dalam blog ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah ketidak-sengajaan penulis untuk jalannya cerita. Dan Blog ini adalah bagian dari Usaha di bawah nama branding Edugameapp yang menyediakan layanan berupa cerita pendek bergenre umum, humor dan horor yang diperuntukkan untuk pengguna internet dewasa.

Popular posts from this blog

Cerita Hantu Berantai episode I: Kampung

Cerita Hantu Berantai episode III: Kontrakan

Dibalik Naiknya Belanja Sri

Kisah Horor: Panggilan Ayah

Antara Karma dan Nasib

Sahur Sendiri bersama Kunti

Cerita Hantu Berantai episode II: Kantor

Dibangkitkan sebagai Pezina