Dendam Santet
Di tengah malam yang sunyi, seorang pria tua bernama Pak Ahmad berjalan dengan langkah gontai menuju rumah seorang ustadz. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar, dan matanya kosong.
"Assalamualaikum, Ustadz," ucap Pak Ahmad dengan suara lemah.
"Waalaikumsalam, Pak Ahmad. Mari masuk, mari," jawab Ustadz Karim dengan ramah, mempersilakan tamunya duduk.
Setelah Pak Ahmad duduk, Ustadz Karim bertanya, "Ada apa malam-malam begini, Pak Ahmad?"
"Saya... saya sakit, Ustadz. Sakit sekali," jawab Pak Ahmad, memegangi dadanya yang sesak.
"Sakit apa, Pak Ahmad? Sudah periksa ke dokter?" tanya Ustadz Karim.
"Sudah, Ustadz. Dokter bilang saya sehat-sehat saja. Tapi sakit ini... sakit ini seperti membakar tubuh saya dari dalam," ujar Pak Ahmad dengan suara bergetar.
Ustadz Karim mengamati Pak Ahmad dengan seksama. Beliau merasakan sesuatu yang aneh dengan sakit yang diderita pria di depannya itu. "Coba ceritakan, Pak Ahmad. Sejak kapan sakit ini muncul?"
Pak Ahmad terdiam sejenak, tampak ragu. "Saya... saya tidak tahu pasti, Ustadz. Tetapi saya merasa saya di santet oleh seseorang."
Pak Ahmad kemudian menceritakan bahwa dia kemungkinan besar disantet oleh keponakannya sendiri. Keponakannya itu dendam kapada Pak Ahmad, "Mungkin dia mengira saya telah merampas harta warisan Ibunya," katanya.
Pak Karim mendengarkan cerita Pak Ahmad itu dengan seksama. Dia tahu bahwa Pak Ahmad memang korban dari sihir hitam. Namun, Pak Karim merasakan bahwa Allah SWT tidak mengijinkan dia untuk membantu Pak Ahmad. "Saya sebenarnya ingin membantu, namun mohon maaf Pak Ahmad, ada sesuatu yang membuat saya merasa jika saya tidak sanggup."
Pak Ahmad hanya terdiam beberapa saat, dan akhirnya memutuskan untuk berpamitan ke Pak Karim.
Dalam perjalanan pulang, Pak Ahmad menyadari jika mungkin Ustadz Karim tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sesampainya di rumah, Pak Ahmad yang hidup sendiri, langsung merebahkan diri di dipan tua di ruang tengah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, sementara matanya menatap langit-langit rumah yang temaram. Pikiran Pak Ahmad kembali pada perkataan Ustadz Karim. "Apakah benar Ustadz Karim tahu sesuatu? Atau mungkin... dia takut kepada sesuatu yang lebih besar?" batin Pak Ahmad, berusaha mencerna semuanya.
Tiba-tiba, rasa sakit mencengkeram dadanya yang membuat pikirannya buyar. Dia terbatuk, dan saat menutup mulutnya, dia terkejut mendapati telapak tangannya ternoda darah.
Pak Ahmad memejamkan mata, mencoba melafalkan ayat-ayat suci, namun setiap kali dia mulai membaca, lidahnya terasa kelu, seperti ada yang mengunci suaranya. Dalam kegelapan itu, samar-samar ia mendengar suara berbisik, lirih namun jelas.
"Harta itu bukan milikmu..."
Pak Ahmad terperanjat, membuka matanya lebar-lebar. Tidak ada siapa-siapa. Ruangan kosong. Namun suara itu tetap terdengar, seperti berasal dari dalam kepalanya sendiri dan terus berbisik.
Dengan sisa-sisa tenaga, Pak Ahmad mencoba bangkit dan meraih Al-Qur'an di meja kecil. Tangannya gemetar. Tetapi sebelum dia sempat membaca, listrik padam dan ruangan pun menjadi gelap gulita.
Dalam kegelapan itu, Pak Ahmad mendengar langkah-langkah lembut mendekat. Matanya mencari-cari sumber suara, namun yang dia lihat hanyalah bayangan tipis yang perlahan membentuk sosok.
Sosok itu adalah sosok wanita dengan wajah pucat, mata sayu, senyum yang mengerikan, dan berkata, "Kau merampas hakku," yang membuat bulu kuduk Pak Ahmad meremang.
Pak Ahmad membeku. Wajah itu adalah wajah adiknya yang sudah meninggal tiga tahun yang lalu.
"Tidak... ini tidak mungkin..." teriak Pak Ahmad, mencoba mundur dengan tubuh yang gemetar.
"Kau harus mengembalikan apa yang bukan hakmu," sosok itu berkata lagi, sambil mendekat dengan langkah perlahan.
Setiap kata yang terucap membuat sakit di dada Pak Ahmad semakin menjadi, seolah semakin membakarnya dari dalam.
Di tengah ketakutan yang mencekam itu, Pak Ahmad teringat akan dosanya, hanya demi harta warisan, dia pernah membayar dukun untuk menghabisi adik kandungnya itu sendiri dengan santet. Dan dia tidak menyangka, malam itu dengan santet pula dia dibalas.
Pak Ahmad terjatuh. Tubuhnya lunglai, pandangannya mulai mengabur.
Dan sebelum semuanya gelap, Pak Ahmad melihat sosok itu tersenyum penuh dendam yang membuat nyalinya ciut.
Keesokan paginya, warga menemukan Pak Ahmad tergeletak tak bernyawa di ruang tengah rumahnya, dengan Al-Qur'an yang terbuka di sampingnya. Wajahnya pucat, matanya masih terbuka dengan ekspresi ketakutan yang begitu nyata.
Berita kematiannya menyebar cepat, namun hanya sedikit yang tahu kisah sebenarnya.
Saat melayat, Ustadz Karim hanya dapat merapal doa sambil berkata dalam hati, "Maafkan saya, Pak Ahmad... Mungkin memang ini kehendak-Nya."
Comments
Post a Comment