Senin Kelabu Bang Jampang
Senin pagi itu, adalah Senin kelabu berat bagi Bang Jampang, seorang agen ekspedisi independen di sebuah gang sempit di Malang.
Bagaimana tidak, hari itu dimulai dengan bunyi dering ponsel yang memekakkan telinga. Bukan dari pelanggan yang menanti paket, melainkan dari Mas Bro, bos ekspedisi pusat.
"Bang! Ini kok return barang numpuk lagi kayak gunung Semeru?!" Suara Mas Bro di seberang sana terdengar seperti alarm sahur yang sudah kadaluarsa.
Bang Jampang menghela napas. Dengan berat hati dia harus berangkat ke gudang transitnya, yang tak lain adalah kontrakan petak yang telah disewanya setahun ini. Gudang itu sudah sesak, bukan hanya oleh paket-paket yang gagal kirim, tetapi karena penerima paket yang masih mudik pulang kampung, belum balik membawa sanak familinya yang belum bekerja.
Belum selesai pusing dengan return, matanya menangkap pemandangan menyebalkan lainnya. Sebuah mobil sedan berwarna merah parkir persis di depan pintu kontrakan, menghalangi akses keluar masuk teman-teman kurir Bang Jampang.
Bang Jampang sudah mencoba bertanya ke tetangga kontrakan dan bahkan memutari kampung berkali-kali mencari sang Pemilik sedan itu, tapi tetap tidak ketemu dan entah sedang bertapa di mana. "Mungkin lagi diare, kehabisan cairan, dan almarhum," pikirnya.
Baru jam 12 siang, sang Pemilik sedan muncul. Beribu maaf diucapkannya ke Bang Jampang, dengan alasan "Sedang lebaran," katanya dikampung sebelah.
"Lalu, kenapa parkirnya disini?" gerutu Bang Jampang sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum kecut.
Untungnya, se-toples nastar sebagai ucapan permintaan maaf, menyuap kemarahan Bang Jampang, meskipun langsung ludes di santap teman-teman kurirnya yang memang tidak ada jatah makan siang.
Tidak cukup sampai di situ, sore harinya, ketika kembali rumah, bukannya disambut kopi hangat, Bang Jampang malah disuguhi pemandangan pilu. Baju seragam sekolah anaknya, sudah penuh coretan spidol warna-warni.
Berbagai nama, tulisan seperti "Susi & Anton", gambar abstrak yang entah apa maksudnya, dan tulisan "LULUS 2025!" menghiasi kain putih seragam itu.
"Lho, Le? Ini kenapa bajumu?" tanya Bang Jampang lemas.
Ironisnya, "Hehehe... buat kenang-kenangan, Ayah! Habis disekolah tadi, semua teman-teman pada colat-colet baju," jawab anaknya polos.
Bang Jampang hanya terdiam. Tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kelulusan kepada anaknya yang masih kelas satu SD itu.
Namun, dalam kekalutan itu, tiba-tiba, ponselnya berdenting lagi. Kali ini dari grup WhatsApp kompleks.
Penting!
Jangan lewatkan! Pembagian Somay Gratis di depan pos ronda jam 8 malam ini! Door Prize satu sepeda motor, boleh langsung dibawa pulang!
Mata Bang Jampang sedikit berbinar. Bukan karena door prize, namun karena somay. "Pekerjaan baru bisa dipikirkan nanti. Somay gratis adalah prioritas! Mungkin ini jamu yang bisa membuat cemberut istriku jadi senyum untuk malam ini."
Sambil mengayuh sepeda listriknya yang baterainya sudah dol menuju pos ronda, dibenak Bang Jampang malah dipenuhi kritikan tentang hukum di negeri ini. "Maling ayam langsung digebukin massa sampai babak belur. Giliran koruptor yang nyolong miliaran, senyum-senyum aja. Ini namanya ketidak-adilan somay... eh, ketidak-adilan sosial!"
Sesampainya di pos ronda, antrean sudah mengular.
Bang Jampang langsung ikut bergabung, matanya fokus pada gerobak somay yang mengepulkan aroma menggoda. Baginya, untuk saat ini, kenikmatan somay gratis jauh lebih penting untuk menyelamatkan mulut cemberut istrinya yang juga sudah mengular akibat kepolosan anaknya.
Jam menunjukkan pukul 7:55 malam. "Nomor antrean berapa, Bang?" tanya seorang bapak paruh baya di belakangnya, yang ternyata itu Pak Giman, tetangga sebelah rumahnya.
"Wah, saya belum dapat, Pak. Baru datang," jawab Bang Jampang sambil celingukan mencari panitia pembagian nomor antrian.
Tak lama kemudian, seorang ibu-ibu bercadar dengan megaphone di tangan mulai berteriak, "Nomor antrean satu sampai lima belas, silakan maju!"
Setelah mendapat nomor antrian, Bang Jampang menghela napas lagi. Nomor 101, menunjukkan antrean berarti panjang.
Sambil mengantri langkah demi selangkah, mata Bang Jampang kemudian tertuju pada sebuah spanduk lusuh di tiang listrik dekat pos ronda, yang bertuliskan: "Lowongan Kerja: Dibutuhkan Segera - Kurir Ekspres (Gaji Menarik + Bonus)". Di bawahnya tertera nomor telepon dan alamat kantor yang sepertinya tidak terlalu jauh.
Sekilas, ide untuk melamar pekerjaan itu melintas lagi di benaknya. Mungkin ini saatnya untuk keluar dari lingkaran kemalangan menjadi agen independen. Tapi, aroma somay gratis kembali menarik perhatiannya. "Ah, besok sajalah. Somay gratis ini belum tentu datang dua kali," gumamnya.
Antrean bergerak perlahan dan semakin dekat. Bang Jampang mulai membayangkan nikmatnya menyantap somay hangat dengan bumbu kacang yang pedas manis bersama anak dan istrinya. Bahkan dia sudah merencanakan bagaimana cara membujuk istrinya yang sedang cemberut agar ikut menikmati rezeki nomplok ini.
Tiba-tiba, keributan kecil terjadi di dekat gerobak somay. Beberapa orang terlihat berdesakan dan saling menyalahkan. Ada juga yang sampai naik ke truk Damkar, dan sempat terjadi dorong-dorongan di atas sana. Rupanya, terdapat kesalah-pahaman, banyak yang mengira ibu-ibu bercadar dan ber-megaphone itu adalah vokalis dari band Sukatani, hingga mereka bertengkar, sampai-sampai hampir berkelahi. "Padahal ibu-ibu itu hanya mirip," kata Pak Giman.
Akhirnya, giliran Bang Jampang tiba. Seorang pemuda berseragam karang taruna menyodorkan sebungkus somay hangat yang mengepulkan aroma surga duniawi. Bang Jampang menerima bungkusan itu dengan senyum sumringah. "Terima kasih, Mas!" ucapnya tulus.
Sambil berjalan menuju sepeda listriknya, Bang Jampang melihat seorang anak kecil tertangkap basah mencuri beberapa tusuk sate di warung seberang pos ronda. Beberapa warga langsung menghardiknya dengan kasar.
Lagi-lagi, benak Bang Jampang dipenuhi perbandingan yang membuatnya miris. "Anak kecil nyolong sate langsung dimaki-maki. Giliran yang korupsi uang negara buat beli sate segerobak, malah dikawal ketat, dilindungi. "Memang benar kata orang, hukum itu tumpul ke atas, tajam ke bawah."
Dengan sebungkus somay di tangan, Bang Jampang mengayuh sepeda listriknya perlahan. "Pekerjaan baru? Door prize motor? Urusan besok. Malam ini, yang penting adalah kehangatan di rumah. Semoga saja, sebungkus somay ini cukup untuk meredakan segala 'kemalangan' yang menimpa di Senin kelabu ini." harapnya.
Comments
Post a Comment