Perjalanan Bunga ke Kediri

Bunga (nama samaran) berdiri di tengah riuhnya peron Terminal Batu. Peluh keringat mulai terasa membasahi pelipisnya. Ransel pink kesayangannya semakin terasa berat, bukan karena buku catatan dan laptop usangnya, tetapi karena beban pikiran tentang skripsi yang tak kunjung selesai.

Sebagai mahasiswi semester akhir jurusan Sastra di salah satu universitas negeri di Malang, tenggat waktu wisuda yang sudah semakin dekat, membuat Bunga seringkali harus bolak-balik Malang-Kediri untuk menemui dosen pembimbingnya.

Sore itu, hari Jumat sore, "Aduh," gumam Bunga sambil matanya menatap Bus Bagong yang baru datang dari Terminal Landungsari dan sudah hampir penuh. "Kok mesti penuh sih," keluhnya dalam hati.

Bunga menyeret langkah perlahan, masuk bus, dan menyisir lorong sempit di antara kursi-kursi yang telah terisi berbagai macam penumpang dengan urusannya masing-masing.

Beberapa penumpang tampak sudah terlelap dengan kepala menyandar di jendela yang berdebu. Ada yang asyik bercengkerama dengan logat Jawa Timuran yang kental, dan ada pula yang sibuk menggulir layar ponsel, mencari hiburan di tengah perjalanan yang membosankan.

Harapan Bunga untuk mendapatkan tempat duduk kosong semakin menipis, seiring langkahnya yang semakin ke belakang. Maklum, usahanya begadang malam sebelumnya mengerjakan bab dua skripsi, membuat Bunga sangat mendambakan bisa duduk, dan barang kali sedikit memejamkan mata.

"Permisi, Bu," sapa Bunga sopan kepada seorang ibu paruh baya yang menempati bangku ganda, yang disampingnya teronggok tas anyaman besar berisi sayuran.

Ibu itu hanya menggelengkan kepala tanpa menoleh, mulutnya sibuk mengunyah sesuatu, sementara tangannya menepuk-nepuk tas di sebelahnya, memberi isyarat bahwa tempat itu sudah terisi.

Bunga tidak mau kalah. Dia berniat mengeluarkan jurus tatapan memelas andalannya, yang biasanya cukup ampuh meluluhkan hati penjual gorengan untuk menambah bonus ote-ote.

Tapi sepertinya, ibu di depannya ini punya perisai anti-tatapan-memelas level dewa.

"Permisi, Bu," ulang Bunga dengan nada dibuat semanis mungkin, seperti sedang menawarkan permen kepada anak kecil yang merajuk.

Ibu itu tetap khusyuk dengan kunyahannya, rahangnya bergerak naik turun seperti piston kecil. Matanya bahkan tidak berkedip ke arah Bunga, fokus sepenuhnya pada entah apa yang sedang disantapnya dengan begitu nikmat. "Kriuk... kriuk..." suara kunyahan yang justru semakin keras di telinga Bunga, seolah mengejek nasibnya yang terancam berdiri selama perjalanan Malang-Kediri.

Bunga kembali memberanikan diri. "Maaf, Bu, apa tempat di sampingnya benar-benar sudah ada yang menempati?" tanyanya dengan nada selembut sutra.

Ibu itu baru menoleh, menatap Bunga dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. Kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ibu itu kembali menepuk-nepuk tas sayurannya dengan penuh kepemilikan, seolah berkata, "Ini adalah wilayah kekuasaanku, Nak. Jangan coba-coba menggangguku dan sayuranku."

Bunga hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata, menghela napas kecil, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya. "Baiklah, Ratu Sayuran!" gumamnya pelan, sambil berbalik mencari tempat kosong lain.

Akhirnya, setelah hampir menyerah dan berpikir untuk berdiri saja sepanjang perjalanan, matanya menangkap secercah harapan di bagian paling belakang bus. Tampak satu tempat kosong di bangku panjang paling belakang, tepat di samping jendela yang kacanya tampak buram oleh debu jalanan. "Alhamdulillah," bisik Bunga lega.

Dengan sedikit susah payah, Bunga melangkah ke belakang, menghindari kaki-kaki yang terjulur dan tas-tas plastik yang berserakan di lantai. Begitu sampai, tanpa ragu dia langsung mendudukkan diri di ujung bangku, meletakkan ransel pink-nya di pangkuan. "Akhirnya bisa duduk juga," pikirnya sambil berharap perjalanan kali ini akan lancar, dan hasil pertemuan dengan dosen pembimbing, pagi hari itu memberikan kabar baik untuk skripsinya.

Tak lama kemudian, bus mulai bergerak meninggalkan terminal. Belum jauh melaju, pintu depan terbuka lagi. Seorang pria dengan tampang sangar masuk. Badannya kekar, rambut gondrong acak-acakan, dan yang paling mencolok, tato besar di lengan kanannya yang bergambar samar, seperti beruang cokelat dengan ekspresi garang, yang seolah siap menerkam seorang anak kecil berpita merah.

Bunga menelan ludah.

Tanpa mukadimah, si Pengamen langsung mengeluarkan gitar bututnya. Dia memetik beberapa nada sumbang, lalu mulai bernyanyi dengan suara serak, dengan melodi lagu "Balonku ada lima", namun dengan lirik:


Istriku ada satu

Tiap hari ribut melulu

Cemberut, marah-marah selalu

Jadi ku nambah satu


Istriku jadi dua, ihir!

Hatiku jadi senang

Yang satu suka minta uang

Yang satu suka paketan


Uangku tambah ludes, dor!

Otakku jadi kacau

Akhirnya ku tambah lagi

Biar ku makin menjadi


Istriku jadi tiga

Makin pusing jadinya

Yang ini ingin perhiasan

Yang itu ingin liburan


Dompetku semakin tipis, aw!

Senyumku makin meringis

Istriku tetap tiga

Beginilah nasib saya


Beberapa penumpang tertawa kecil, sebagian menggeleng-gelengkan kepala, dan ada pula yang menahan tawa hingga terkentut-kentut.

Bunga sendiri berusaha keras untuk tidak tertawa, mengingat tampang seram si Pengamen. Dia menundukkan kepalanya sedikit, pura-pura fokus pada tas ranselnya. Namun, matanya bergerak-gerak gelisah, menahan gejolak tawa yang ingin meledak.

Apalagi ketika lirik yang semakin absurd, "Uangku tambah ludes, dor!," bahu Bunga mulai sedikit bergetar. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berharap itu bisa meredam suara tawa yang sudah naik ke tenggorokan. Ditambah ketika lirik, "Beginilah nasib saya," Bunga nyaris menyerah. Air matanya bahkan sedikit keluar, bukan karena sedih, tapi karena menahan tawa yang sudah di ubun-ubun. 

Tiba-tiba, penumpang di sebelah Bunga beranjak. "Lho, kok turun?" tanya Bunga dalam hati, khawatir si Pengamen akan duduk di sebelahnya.

Ternyata memang benar, setelah berkeliling menarik upeti dengan Piggy Banknya, si Pengamen itu melirik tempat kosong di samping Bunga.

Dengan santai, pengamen itu pun duduk di sebelah Bunga, dan gitarnya diletakkan dipangkuan. 

Tiba-tiba, aroma kopi kental bercampur sedikit bau matahari langsung menyeruak ke indra penciuman Bunga. Jantungnya mencelos, bukan karena takut lagi, tapi lebih karena situasi absurd yang sedang dialaminya. Di satu sisi, dia masih berusaha menahan sisa-sisa tawa akibat lagu "istri tiga" yang menggelikan itu. Di sisi lain, kini sumber "kegelian" itu duduk tepat di sampingnya, lengkap dengan tato beruang yang seolah sedang mengawasi gerak-geriknya.

Bunga mencoba bersikap normal, pura-pura melihat pemandangan luar jendela yang sebenarnya hanya menampilkan deretan toko dan warung biasa. Namun, sudut matanya sesekali melirik gerakan-gerakan kecil si Pengamen, seperti menggaruk rambut gondrongnya, atau sekedar membetulkan letak gitarnya, yang justru terlihat semakin lucu di mata Bunga.

"Mbak," sapa si Pengamen sambil menganggukkan kepalanya.

Bunga kaget, menoleh sedikit, "Eh, iya, Mas?" jawabnya gugup.

Mata Bunga mengerjap beberapa kali, seperti baru saja terbangun dari tidur siang yang singkat. Bak petir di siang bolong, dia tidak menyangka si Pengamen akan menyapa sesuai dugaannya.

"Mau ke mana?" tanya pengamen.

Bunga menjawab, "Ke Pare."

"Oo..," sahut si Pengamen, "Pahit,"

Bunga yang tahu si Pengamen mencoba bercanda, "I-iya" jawabnya sambil menggerutu, "Itu sayur Pare, gondrong!"

Suasana canggung menyelimuti Bunga, berusaha menghargai ajakan mengobrolnya, "Tato-nya bagus ya Mas?" tanyanya memberanikan diri.

"Tato saya keren, ya" jawab si Pengamen sambil memamerkan lengan berototnya. "Ini beruang lagi mau nerkam anak kecil. Sangar, kan?"

Bunga menatap tato itu lagi. Mengamati lebih detail dan jelas. Ternyata dia mengenali beruang itu, yaitu dari serial kartun keponakannya yang sedang mengejar sahabat kecilnya, Masha.

Bunga ingin memberitahu yang sebenarnya, tapi lidahnya kelu dan "I-iya, Mas... keren," jawabnya sekenanya, takut salah ngomong.

"Udah lama saya bikin ini. Sejak 2015," lanjut si pengamen sambil terkekeh pelan.

"Oh... sebelum pandemi dong!," balas Bunga singkat. "Ini sih lebih mirip Teddy, bukan beruang lagi."

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Lalu si Pengamen kembali membuka percakapan. "Mbak suka lagu saya? Itu ciptaan saya sendiri lo?"

Bunga berusaha mencari jawaban aman. "Emm... kreatif, Mas. Lain dari yang lain."

"Hehehe... iya dong," kata si Pengamen bangga. "Mbak mau jadi istri saya yang keempat?"

"Ougiah!" seru dalam hati Bunga, yang tampak hanya senyum kecutnya. "Berarti benar punya tiga istri Mas-nya?" katanya mengalihkan pertanyaan.

Si Pengamen mengangguk dengan wajah datar, tidak ada senyum atau tawa seperti sebelumnya. "Ya, Mbak. Beneran."

Bunga terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu.

"Susah memang Mbak, punya istri banyak. Yang satu pengen ini, yang satu pengen itu. Belum lagi kalau lagi pada akur, mintanya sama-sama. Dompet saya ini sudah kayak kerupuk, tipis kriuk-kriuk." curhat si Pengamen sambil menepuk saku celananya yang terlihat kempes.

Bunga terdiam sebentar, "Salut deh sama Masnya," kata Bunga tulus. "Pasti kuat banget ngejalaninnya."

Si Pengamen sambil terkekeh pelan menjawab. "Makanya, 'Beginilah nasib saya'. Ya beginilah adanya."

Mereka berdua tertawa bersama, teringat lirik lagu istri tiga sang Pengamen.

Tak terasa. "Dewi Sri, Dewi Sri!" teriak kondektur.

Si pengamen langsung beranjak. "Nah, sudah ya Mbak, saya mau ganti bus ke arah Jombang."

"Oh, iya, Mas. Hati-hati," kata Bunga.

Bunga tidak menyangka, perjalanannya kali itu membawanya mengobrol santai dengan seorang pengamen bertampang preman yang ternyata orang yang bertanggung-jawab.

Dan setidaknya, perjalanan yang awalnya terasa menegangkan, berakhir dengan tawa.

Comments

Cerita dalam blog ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah ketidak-sengajaan penulis untuk jalannya cerita. Dan Blog ini adalah bagian dari Usaha di bawah nama branding Edugameapp yang menyediakan layanan berupa cerita pendek bergenre umum, humor dan horor yang diperuntukkan untuk pengguna internet dewasa.

Popular posts from this blog

Cerita Hantu Berantai episode III: Kontrakan

Cerita Hantu Berantai episode I: Kampung

Dibalik Naiknya Belanja Sri

Kisah Horor: Panggilan Ayah

Antara Karma dan Nasib

Sahur Sendiri bersama Kunti

Dibangkitkan sebagai Pezina

Cerita Hantu Berantai episode II: Kantor