Botol Kenangan

Tangan Pak Jono menyentuh lembut debu-debu yang menari di dalam botol kaca bening. Di dalamnya, bukan air atau cairan berwarna, melainkan serpihan-serpihan kecil kertas, foto yang menguning, dan untaian benang pudar. Inilah "Botol Kenangan" katanya.

Setiap isinya adalah fragmen dari kehidupan Pak Jono. Yaitu surat cinta pertama yang renyah, foto hitam putih almarhum istrinya yang tersenyum, tiket bioskop kencan pertama, bahkan secarik kertas berisi coretan cita-cita masa kecilnya.

Pak Jono tinggal di sebuah rumah sederhana di ujung RW 07. Usianya sudah senja, namun semangatnya tak pernah pudar. Dia dikenal bukan hanya karena keramahannya, tetapi juga karena tingkah lakunya yang "kocak se-RW".

Menjelang perayaan HUT kemerdekaan, sebuah pengumuman ditempel di papan pengumuman balai desa. Ide ini dicetuskan oleh Karang Taruna, namun mendapat dukungan penuh dari Pak Lurah yang baru menjabat, Bapak Sudiro. Dan Pak Jono pun, dengan antusias mendaftar sebagai peserta.

Pak Lurah Sudiro, meskipun dikenal sopan dan berusaha dekat dengan warga, seringkali terlihat canggung dan kurang memiliki kharisma dibandingkan dengan lurah yang menjabat selama dua dekade sebelumnya, Bapak Karso.

Menurut warga, Pak Lurah Sudiro dinilai pasif dan kurang perhatian dengan kesejahteraan rakyat.

Hari perlombaan pun tiba. Balai desa dipenuhi warga yang bersemangat datang. Beberapa peserta menampilkan lawakan tunggal, ada yang bermain peran lucu, dan ada pula yang menunjukkan keahlian unik dengan sentuhan komedi.

Tibalah giliran Pak Jono. Dia naik ke atas panggung dengan membawa "Botol Kenangan"-nya. Warga saling berbisik, penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh maskot kocak RW 07 ini.

Pak Jono berdiri di tengah panggung, memegang botol itu dengan hati-hati. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapanya dengan suara lantang. "Malam ini, saya tidak akan melucu seperti biasa. Saya akan membawa kita semua bernostalgia."

Pak Jono kemudian membuka botol itu dan mengeluarkan satu per satu isinya. "Ini," katanya sambil memegang surat cinta yang menguning, "adalah surat cinta pertama saya. Dulu, kalau mau menyatakan cinta, harus pakai surat, penuh kata-kata indah dan menunggu balasan berhari-hari, bahkan sampai tujuh kali antrian haji, belum datang-datang juga. Beda sama jaman sekarang, tinggal chat 'aku sayang kamu', langsung dapat balasan emotikon hati,... atau malah di blokir." Warga tertawa, mengenang perbedaan jaman.

Pak Jono melanjutkan dengan menunjukkan tiket bioskop. "Ini tiket kencan pertama saya dengan almarhum istri. Dulu nonton bioskop masih pakai layar besar, patungan uang jajan seminggu. Sekarang? Tinggal buka streaming di rumah, sambil rebahan, dan tagihan tiap bulan datang." Tawa warga kembali pecah.

Hingga akhirnya, Pak Jono memegang secarik kertas berisi coretan cita-cita masa kecilnya. "Dan ini," katanya dengan nada sedikit serius, "adalah cita-cita saya waktu kecil saya, yaitu ingin melihat desa kita maju dan sejahtera, dipimpin oleh orang yang benar-benar peduli dan mendengarkan warganya." 

Pak Jono menatap kertas itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Pak Lurah Sudiro yang duduk di barisan depan, terlihat sedikit tegang.

"Dulu, Pak Lurah kita yang lama," lanjut Pak Jono dengan nada yang dibuat-buat seperti sedang bercerita dongeng, "beliau itu seperti pohon yang rindang. Semua warga bisa berteduh, keluh kesah didengarkan, dan setiap kebijakan selalu memikirkan kepentingan bersama. Sekarang..." Pak Jono berhenti sejenak, membuat semua orang penasaran.

Dia kemudian mengangkat botol kenangannya tinggi-tinggi. "Sekarang, desa kita ini seperti botol ini. Isinya seperti kenangan indah masa lalu, tapi botolnya... ya, botolnya baru. Masih bersih, belum terisi banyak. Kita semua berharap, botol yang baru ini bisa diisi dengan kenangan indah yang baru, tetapi tetap menjaga kenangan yang lama."

Warga terdiam sejenak, mencerna kata-kata Pak Jono. Tawa memang tidak meledak seperti penampilan peserta lain, tetapi ada pesan yang jelas tersirat di dalamnya. Beberapa warga mengangguk-angguk setuju, sementara Pak Lurah Sudiro terlihat salah tingkah.

Setelah Pak Jono turun dari panggung, suasana menjadi sedikit berbeda. Beberapa warga mulai berbisik-bisik membahas "penampilan" Pak Jono yang tidak lucu seperti biasanya. Sebuah lawakan garing, kritikan kepada Pak Lurah yang kekuasaannya masih dibawah bayang-bayang Pak Lurah yang lama.

Saat pengumuman pemenang, nama Pak Jono tidak disebut. Juara pertama diraih oleh seorang pemuda dengan lawakan stand-up comedy yang memang menghibur. Yaitu lawakan yang menyinggung susahnya sinyal handphone di desa, yang kemudian direspon Pak Lurah dengan rencana pembangunan tower dekat kuburan, "Supaya almarhum juga bisa nikmati 5G."

Comments

Cerita dalam blog ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah ketidak-sengajaan penulis untuk jalannya cerita. Dan Blog ini adalah bagian dari Usaha di bawah nama branding Edugameapp yang menyediakan layanan berupa cerita pendek bergenre umum, humor dan horor yang diperuntukkan untuk pengguna internet dewasa.

Popular posts from this blog

Cerita Hantu Berantai episode I: Kampung

Cerita Hantu Berantai episode III: Kontrakan

Dibalik Naiknya Belanja Sri

Kisah Horor: Panggilan Ayah

Antara Karma dan Nasib

Sahur Sendiri bersama Kunti

Cerita Hantu Berantai episode II: Kantor

Dibangkitkan sebagai Pezina