Pujaan Driver Ojek Online

Matahari sore di Malang terasa menyengat, memaksa Bram menepi di bawah rindangnya pohon akasia di pinggir Jalan Ijen. Debu jalanan sedikit terangkat saat beberapa motor lain melintas.

Bram menghela napas, melepas helmnya sejenak, dan mengusap peluh di dahinya. Orderan hari ini lumayan, tapi tetap saja belum cukup untuk menutupi kebutuhan esok hari.

Sambil menunggu orderan baru masuk ke ponselnya yang retak di beberapa bagian, tanpa sengaja pandangannya jatuh pada dompetnya yang sudah usang. Dari sela-selanya, mengintip selembar foto polaroid yang warnanya sudah pudar.

Di sana, seorang gadis tersenyum, berkaos putih dan bertopi, posenya mengingatkannya pada adegan ikonik Jun Ji-hyun di film "My Sassy Girl".

"Halah, masih ngarep," gumam Bram getir, menatap foto itu sekilas, sebelum memasukkannya kembali ke dompet.

Bram ingat betul betapa kontrasnya kehidupan mereka sekarang. Dia, Bram, masih berkutat dengan kerasnya jalanan Malang sebagai pengemudi ojek daring. Sementara Sinta, si gadis yang dulu Bram puja, entah sudah berada di level mana.

Dulu, di kampus biru, Bram begitu terpesona pada Sinta. Bukan hanya karena kemiripan sesaat dengan bintang film Korea itu, tapi justru karena karakternya yang tomboy dan acuh.

Di tengah ramainya mahasiswa dengan cita-cita dan gaya hidup masing-masing, sifat acuh Sinta Bram artikan sebagai kemandirian, sesuatu yang dia kagumi karena dia sendiri sering merasa minder dengan keadaannya saat itu.

Bram selalu berusaha mendekati Sinta, meski dia sadar betul caranya mungkin terkesan kekanakan dan memalukan. Dia hanya ingin Sinta tahu bahwa dia menyukainya, meskipun saat itu dia sendiri masih bergantung pada kiriman orang tua dan tak punya kepastian masa depan.

Sayangnya, Sinta tidak pernah benar-benar melihat ketulusan Bram. Dia justru merasa risih dengan perhatian Bram yang dianggapnya tidak realistis dan hanya menambah beban pikiran.

Bram masih ingat jelas siang yang menyakitkan itu. Di tengah obrolan santai dengan teman-teman di kantin, Sinta tiba-tiba menghampirinya dan melontarkan kalimat pedas yang menusuk hati.

Sinta bilang Bram terlalu naif dan tidak pantas mengharapkan cintanya. Kata-kata itu, diucapkan dengan nada merendahkan di depan banyak orang, yang terasa seperti pukulan telak bagi Bram, yang memang tidak punya apa-apa.

Sakit hati dan malu, membuat Bram menarik diri.

Bram lalu berusaha fokus pada kuliah dan kerja sampingan untuk menyambung hidup.

Cinta pertamanya itu, selain meninggalkan luka yang dalam, tapi juga membuat Bram semakin sadar akan jurang perbedaan di antara mereka.

"Cling!"

Suara notifikasi dari ponsel Bram membuyarkan lamunannya. Ketika dilihat, terdapat orderan baru, yang lumayan jauh tujuannya.

Bram segera memakai helmnya kembali. Sebelum menyalakan motor, tanpa sadar tangannya merogoh dompet. Jari-jarinya menyentuh permukaan kasar foto polaroid itu.

"Sudahlah, Bram," bisiknya pada diri sendiri, menarik napas dalam-dalam. "Itu masa lalu."

Dengan tekad yang tiba-tiba muncul, Bram turun dari motornya. Dia berjalan beberapa langkah menuju selokan kecil di pinggir jalan. Dengan sedikit keraguan, dia merobek foto polaroid itu menjadi beberapa bagian kecil dan membuangnya ke dalam selokan. Air comberan langsung menghanyutkan potongan-potongan kenangan itu entah kemana.

Bram kembali naik ke motornya, menyalakannya, dan membelah jalanan kota Malang, menuju orderan berikutnya.

Di benaknya, Bram meminta dirinya sendiri untuk fokus pada masa kini. Sebab, disetiap kilometer yang dia tempuh adalah demi sesuap nasi dan masa depan keluarganya.

Bram sampai di Stasiun Kota Baru, tujuan yang tertera di layar ponselnya.

Sesampainya di area tunggu stasiun, Bram perlahan menyusuri keramaian, mencari nama penumpang yang tertera di aplikasi. Matanya menyipit membaca satu per satu nama, hingga akhirnya terpaku pada satu nama yang terasa asing namun familiar secara bersamaan, Sinta Lestari.

Jantung Bram berdebar tak karuan. "Sinta? Mungkinkah itu Sinta yang dia kenal dulu?" Dunia terasa berhenti berputar sejenak. Dia mencoba menepis pikiran itu. "Nama Sinta pasti banyak." Tapi firasatnya mengatakan lain.

Tak lama kemudian, matanya menangkap sosok seorang wanita yang berdiri di dekat pilar utama. Wanita itu mengenakan kemeja kasual dan celana jean panjang, rambutnya yang dulu panjang tergerai kini tampak lebih pendek dan tertata rapi. Ada sesuatu dalam posturnya, dalam cara dia melihat sekeliling, yang membuat Bram tertegun.

Dengan ragu, Bram mendekat, memastikan kembali nama di ponselnya. "Sinta Lestari?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.

Wanita itu menoleh. Matanya membulat sejenak, lalu tampak memancarkan keterkejutan yang sama. "Bram?"

Waktu seolah menarik mereka kembali ke lorong-lorong kampus biru. Ada keheningan canggung yang menyelimuti mereka di tengah hiruk pikuk stasiun.

Bram melihat perubahan pada wajah Sinta, garis-garis halus di sekitar matanya, tapi senyum tipis yang kini menghias bibirnya masih sama seperti yang diingatnya.

"Kamu... sedang apa di sini?" tanya Bram, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Aku sedang liburan. Mengunjungi kerabat di daerah Sukun," jawab Sinta, nada suaranya sedikit berubah, tidak lagi sekadar dan tomboi seperti dulu. "Kamu... jadi ojek online sekarang?"

Bram mengangguk canggung, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya... begitulah keadaannya."

Sinta terdiam sejenak, mengamati Bram dari atas hingga bawah. Ada tatapan yang sulit diartikan di matanya. "Aku... aku tidak menyangka."

"Aku juga tidak menyangka orderan ini dari kamu," sahut Bram, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa begitu aneh.

"Jadi... kamu yang akan mengantarku?" tanya Sinta, sedikit tersenyum.

Bram mengangguk lagi. "Kalau kamu tidak keberatan."

Sinta melihat sekeliling, lalu kembali menatap Bram. "Baiklah. Ayo."

Bram mengajak Sinta menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Dia mengambil helm cadangan dari jok motornya dan menawarkannya kepada Sinta.

"Terima kasih," ucap Sinta sambil menerima helm itu, dengan senyum yang membuat Bram kembali mengingat masa-masa kuliah dulu.

Sinta pun naik dengan sedikit canggung, dan Bram memastikan dia duduk dengan nyaman sebelum menyalakan mesin.

Perjalanan menuju Sukun terasa seperti perjalanan waktu bagi Bram. Pemandangan kota Malang yang mereka lewati seolah menjadi latar belakang kenangan masa lalu.

Awalnya, keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya dipecah oleh deru motor dan suara kendaraan lain.

Setelah beberapa menit, Sinta membuka percakapan. "Jadi... bagaimana kabarmu, Bram? Sudah lama sekali ya."

"Lumayan baik, Sinta," jawab Bram, berusaha terdengar santai meski jantungnya masih berdebar.

"Seperti yang kamu lihat, sekarang jadi pengemudi ojek online. Harus bertahan hidup."

"Aku... aku turut prihatin," kata Sinta pelan. "Dulu aku tidak menyangka hidup bisa membawamu ke sini."

Ada nada penyesalan dalam ucapan Sinta yang membuat Bram sedikit terkejut. "Yah, namanya nasib. Yang penting halal."

"Kamu sudah menikah?" tanya Sinta kemudian, tanpa mengalihkan pandangannya ke jalan.

"Sudah," jawab Bram singkat. "Sudah punya istri dan seorang anak."

"Oh... selamat," ucap Sinta, meskipun nada suaranya terdengar sedikit datar. "Aku... aku belum."

Bram menolehkan kepalanya sedikit ke belakang, menatap Sinta sekilas dari kaca spion. "Belum? Kenapa?"

Sinta menghela napas pelan. "Panjang ceritanya. Mungkin... belum menemukan orang yang tepat."

Keheningan kembali menyelimuti mereka untuk beberapa saat. Bram fokus pada jalanan, berusaha mencerna percakapan singkat itu. Ada sesuatu yang berbeda dari Sinta. Tidak ada lagi aura dingin dan acuh seperti dulu. Dia tampak lebih lembut, bahkan terkesan sedikit rapuh.

"Sinta..." Bram memulai lagi, ragu-ragu. "Soal dulu... di kampus... aku minta maaf kalau ada salah kata atau perbuatan."

Sinta terdiam cukup lama sebelum menjawab. "Aku juga... aku juga minta maaf, Bram. Dulu aku mungkin terlalu keras padamu. Aku... aku sedang tidak dalam kondisi yang baik saat itu."

Ucapan Sinta membuat Bram merasa sedikit lega.

Selama bertahun-tahun, perkataan Sinta di kantin kampus itu masih terngiang di benaknya. Mendengar permintaan maaf darinya, meskipun terlambat, memberikan sedikit kedamaian.

Perjalanan mereka terus berlanjut, diiringi percakapan yang semakin mengalir. Mereka bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing, meskipun Bram lebih banyak bercerita tentang suka duka menjadi pengemudi ojek online dan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya.

Sinta lebih banyak mendengar, sesekali menimpali dengan pertanyaan atau komentar singkat.

Akhirnya, mereka tiba di alamat tujuan Sinta. Sebuah rumah sederhana namun asri dengan halaman yang dipenuhi bunga.

"Terima kasih, Bram," ucap Sinta setelah turun dari motor. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.

Bram menolak dengan halus. "Tidak perlu, Sinta. Anggap saja ini reuni yang tidak terduga."

Sinta tampak terkejut. "Tapi..."

"Sungguh, tidak apa-apa," sela Bram dengan senyum tulus. "Senang bisa bertemu kamu lagi, setelah sekian lama."

Sinta menatap Bram lekat-lekat, lalu menghela napas. "Baiklah. Terima kasih banyak, Bram." Dia kemudian memberikan nomor teleponnya kepada Bram. "Kalau kamu ada waktu senggang coba chat aku."

Bram menerima sebuah kartu nama dengan jabatan Manajer di perusahaan ternama. "Tentu saja."

Setelah berpamitan, Sinta melangkah masuk ke halaman rumah. Bram memperhatikannya sejenak sebelum akhirnya memutar balik motornya.

Dalam perjalanan kembali ke tengah kota Malang, pikiran Bram berkecamuk. Pertemuan yang tak terduga ini telah membuka kembali luka lama, namun kali ini dengan rasa yang berbeda.

Tidak ada lagi sakit hati atau penyesalan yang mendalam. Yang ada hanyalah rasa heran dan sedikit rasa penasaran tentang kehidupan Sinta saat ini.

Foto polaroid yang dibuangnya ke selokan sore tadi terasa seperti simbol berakhirnya sebuah babak dalam hidupnya. Babak baru yang menandakan, bahwa hubungan mereka hanya sebatas teman biasa.

Comments

Cerita dalam blog ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah ketidak-sengajaan penulis untuk jalannya cerita. Dan Blog ini adalah bagian dari Usaha di bawah nama branding Edugameapp yang menyediakan layanan berupa cerita pendek bergenre umum, humor dan horor yang diperuntukkan untuk pengguna internet dewasa.

Popular posts from this blog

Cerita Hantu Berantai episode III: Kontrakan

Cerita Hantu Berantai episode I: Kampung

Dibalik Naiknya Belanja Sri

Kisah Horor: Panggilan Ayah

Antara Karma dan Nasib

Sahur Sendiri bersama Kunti

Cerita Hantu Berantai episode II: Kantor

Dibangkitkan sebagai Pezina