Keuntungan Tugu yang Tak Wajar
Mentari pagi terasa hangat menusuk kulit. Budi, seorang wartawan investigasi dengan rambut sedikit gondrong dan mata setajam elang, menyesap kopi pahitnya. Di hadapannya terhampar gunungan catatan, foto-foto buram, dan transkrip wawancara. Targetnya kali ini yaitu dia ingin menelusuri aliran dana miliaran rupiah, yang konon mengucur untuk sebuah tugu ikan terbang.
Bukan tugu megah dari perunggu atau marmer, melainkan sebuah konstruksi yang menurut informasi di media sosial, tugu tersebut bermaterial resin, dengan kerangka kayu, dan daun pisang.
Awalnya, Budi menganggap ini lelucon. Namun, semakin dalam dia menggali, semakin banyak kejanggalan yang dia temukan. Budi mencoba menghubungi pihak-pihak terkait, namun tembok birokrasi seolah membentang tebal di hadapannya.
Frustrasi mulai menyergap. Namun, naluri seorang jurnalis yang pantang menyerah, membuat Budi terus mencari celah.
Hingga suatu hari, dia menemukan iklan daring yang menggelitik: "Tour Eksklusif: Melihat Keajaiban Tugu Ikan Terbang Miliaran yang sedang Proses 'Pengelupasan Alami'".
"Pengelupasan alami?" Budi mengerutkan kening. Tanpa pikir panjang, dia mendaftar. "Itung-itung rekreasi."
Bus pariwisata itu melaju perlahan menuju lokasi tugu. Di dalamnya, berbagai macam orang berkumpul. Ada ibu-ibu sosialita yang penasaran, beberapa mahasiswa arsitektur yang tampak skeptis, dan beberapa pensiunan yang hanya ingin mengisi waktu luang.
Budi duduk di bangku belakang, mengamati sekeliling dengan tajam.
Sesampainya di lokasi, Budi pun langsung berbaur dengan peserta tour yang lain. Sesekali dia mengambil foto dengan kameranya.
Tampak tugu berbentuk ikan terbang yang ada dihadapannya Budi itu, sudah rusak. Lapisan resinnya mengelupas di sana-sini, memperlihatkan rangka kayu yang lapuk terkena air hujan, dan bahkan ada lubang, yang memperlihatkan lapisan dedaunan yang sudah mengering. Warnanya kusam, dan jauh dari kesan "keajaiban" yang dijanjikan.
Terdengar desahan kekecewaan dari beberapa peserta tour. Pemandu wisata dengan senyum kecut berusaha menjelaskan fenomena "pengelupasan alami" ini sebagai bagian dari "proses artistik yang tak terduga". Budi mencibir dalam hati.
Di tengah kerumunan, Budi tak sengaja mendengar percakapan dua orang pria. Yang satu tampak kekar dengan tangan kasar dan kulit legam, yang satunya lagi berpenampilan nyentrik dengan rambut gondrong diikat ke belakang dan kacamata bingkai tebal.
"Wah, kalau begini modelnya, saya bisa bikin yang lebih bagus, Mas," kata pria kekar itu dengan nada meremehkan. "Pakai beton, dengan lapisan luar keramik. Paling banter habis 200 juta, itu sudah lebih dari cukup."
Budi mendekat, memasang telinga.
"Betul sekali," timpal pria nyentrik itu. "Dari sisi seni juga, ini jauh dari kata istimewa. Kalaupun mau kasih bonus ke yang bikin, ya paling banter 50 juta sudah lebih dari lumayan untuk 'karya' seperti ini."
Budi memberanikan diri menyapa. "Maaf, boleh saya ikut nimbrung? Saya Budi, dari media lokal."
Pria kekar mengulurkan tangan. "Saya Untung, kuli bangunan biasa, Mas."
Pria nyentrik tersenyum. "Saya Galih, seniman, orang biasa juga."
Budi mengangguk. "Pak Untung bilang bisa membuat tugu serupa dengan 200 juta berbahan beton. Itu berarti lebih murah dong Pak."
Untung mengangguk mantap. "Betul, Mas. Beton itu kuat, tahan lama. Kalau dilapis keramik yang bagus, ya kinclong terus. Ini pakai resin begini, kena panas hujan sebentar saja sudah rusak."
Galih menambahkan, "Saya juga heran kenapa proyek seperti ini harus melalui tender yang rumit. Kalau tujuannya memberdayakan UMKM, kenapa tidak langsung saja menunjuk kuli bangunan seperti Pak Untung ini? Hasilnya pasti lebih baik, dan anggaran negara juga tidak terbuang sia-sia."
Perbincangan itu semakin hangat. Budi mencatat dalam ingatannya setiap kata yang terlontar. Dia merasakan ada benang merah yang mulai terhubung. Anggaran miliaran, tugu rapuh, dan suara hati rakyat kecil yang merasa ada yang tidak beres.
Setelah tour berakhir, Budi bertukar kontak dengan Untung dan Galih. Informasi dari mereka menjadi amunisi berharga dalam investigasinya.
Budi mulai menelusuri jejak perusahaan pemenang tender, meneliti laporan keuangan proyek, dan mewawancarai beberapa sumber lain yang akhirnya berani buka suara karena merasa geram dengan praktik korupsi yang diduga kuat terjadi.
Budi menemukan bahwa perusahaan pemenang tender adalah perusahaan yang baru berdiri beberapa bulan sebelum tender dibuka, tanpa rekam jejak yang jelas di bidang konstruksi atau seni.
Diduga kuat, ada permainan di balik layar yang melibatkan oknum-oknum pejabat daerah.
Karena tidak mempunyai bukti yang kuat, Budi hanya menuangkannya dalam bentuk opini di salah satu media online, di mana dia bekerja sebagai tenaga freelance di dalamnya. Dia berusaha membeberkan kejanggalan anggaran, kualitas tugu yang memprihatinkan, dan suara-suara kritis dari masyarakat.
Awalnya, muncul reaksinya beragam atas tulisan Budi. Ada yang mencibir, menganggapnya hanya mencari sensasi. Ada pula yang mendukung, yaitu masyarakat yang merasa uang pajak mereka telah disalahgunakan.
Puncaknya, beberapa minggu kemudian, Budi menerima kabar dari temannya di kepolisian, bahwa resmi akan dilakukan penyelidikan terkait proyek tugu ikan terbang tersebut.
Penyelidikan polisi berjalan cukup lama. Budi terus memantau perkembangan, meskipun tidak terlibat aktif.
Setelah berbulan-bulan, akhirnya kasus tugu ikan terbang memasuki babak baru. Sayangnya, alih-alih menyeret oknum pejabat daerah ke kursi pesakitan, tuntutan justru mengarah pada Direktur PT. Angkasa Resin, perusahaan pemenang tender.
Dakwaan yang diajukan tidak terkait dengan kualitas bahan atau material. Hasil audit forensik dan keterangan ahli pengadaan barang dan jasa menunjukkan bahwa resin, kayu, dan dedaunan yang digunakan, meskipun terkesan murahan, secara teknis memenuhi standar yang tertulis dalam dokumen lelang. Tidak ada bukti manipulasi spesifikasi atau penggunaan material di bawah standar yang disepakati.
Namun, jaksa penuntut umum fokus pada selisih harga yang dianggap tidak wajar. Mereka berargumen bahwa biaya produksi tugu, bahkan dengan standar yang dipenuhi, jauh lebih rendah daripada nilai kontrak miliaran rupiah yang diterima PT. Angkasa Resin. Keuntungan yang diambil perusahaan dinilai eksesif dan tidak beretika, meskipun tidak secara eksplisit melanggar pasal korupsi terkait kerugian negara akibat kualitas barang.
Sidang berjalan cukup menarik perhatian publik. Budi hadir beberapa kali, mencatat setiap argumen yang dilontarkan. Pihak pengacara PT. Angkasa Resin berdalih bahwa penetapan harga adalah hak perusahaan, dan risiko proyek yang tidak terduga (seperti cuaca yang mempercepat kerusakan) juga harus diperhitungkan. Mereka juga menekankan bahwa proses lelang telah diikuti secara sah dan tidak ada paksaan dalam penetapan harga.
Hingga tiba saatnya vonis dibacakan. Majelis hakim menyatakan Direktur PT. Angkasa Resin terbukti bersalah melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dan mengambil keuntungan yang tidak wajar dari proyek pemerintah. Meskipun tidak ada unsur korupsi dalam pengertian klasik, hakim berpendapat bahwa tindakan perusahaan telah melanggar prinsip keadilan dan kepatutan dalam pengelolaan keuangan negara.
Direktur PT. Angkasa Resin divonis hukuman percobaan dan denda yang cukup besar, yang sebagiannya harus dikembalikan ke kas daerah. Perusahaan juga mendapatkan catatan hitam dalam daftar rekanan pemerintah.
Keputusan ini menimbulkan berbagai reaksi. Sebagian masyarakat merasa puas karena meskipun tidak ada "koruptor" yang tertangkap, setidaknya ada pertanggung-jawaban atas penggunaan anggaran yang dianggap tidak masuk akal. Mereka melihat vonis ini sebagai pesan bahwa mengambil keuntungan berlebihan dari uang rakyat adalah tindakan yang salah, meskipun secara hukum formal mungkin tidak sepenuhnya ilegal.
Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa vonis ini terlalu dipaksakan. Mereka berargumen bahwa selama spesifikasi dipenuhi dan proses lelang sah, keuntungan perusahaan adalah hal yang wajar. Batasan "keuntungan yang tidak wajar" dianggap subjektif dan berpotensi menimbulkan ketidak-pastian hukum.
Budi sendiri merenung. Kasus ini memang berbeda dari bayangannya semula. Tidak ada aliran dana gelap yang terungkap, tidak ada suap yang terbukti. Namun, esensi dari masalah tetap sama, yaitu penyalah-gunaan uang rakyat. Vonis ini menjadi preseden menarik, bahwa meskipun celah hukum dalam pengadaan bisa saja dimanfaatkan, prinsip keadilan dan kewajaran tetap menjadi pertimbangan penting. "Terkadang, keadilan tidak hanya soal hitam dan putihnya hukum, tetapi juga tentang etika dan kepatutan dalam mengelola amanah publik," pikir Budi.
Comments
Post a Comment