Keakraban yang Memuakkan
Reno mengetik laporan terakhirnya dengan jari-jari kaku. Aroma kopi basi dan kertas fotokopi murahan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-harinya sebagai pekerja paruh waktu di kantor administrasi universitas ini.
Namun, ada aroma lain yang lebih mengganggunya. Yaitu aroma basa-basi menjijikkan dan sentuhan-sentuhan "akrab" yang membuatnya mual.
Pak Darma, dengan kopyah hitamnya yang selalu bersih dan kutipan ayat suci yang sering terlontar dari bibirnya, adalah sumber utama ketidak-nyamanan Reno. Di depan atasan dan orang luar, Pak Darma adalah sosok alim dan disegani. Tetapi, di balik nasehatnya itu, seringkali terdengar dia melontarkan komentar bernada menggoda yang dibungkus dengan dalih bercanda.
Mahasiswi yang datang mengurus tugas akhir pun tak luput dari tatapan merendahkan dan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tak relevan.
Awalnya, Reno yang lugu mengira itu hanyalah bagian dari "keakraban" budaya kerja di tempat ini, seperti yang sering didengungnya. Namun, semakin hari, hatinya semakin risih.
Reno semakin melihat dengan jelas, bahwa bibit-bibit pelecehan sebagaimana telah dilakukan oleh oknum guru besar di salah satu universitas ternama di Indonesia, ada pada diri rekan-rekan kerjanya itu.
Hingga, dengan keberanian yang dikumpulkannya susah payah, Reno memberanikan diri melapor kepada Bu Anita, kepala bagian administrasi. Dia menyampaikan semua yang dilihat dan dirasakannya dengan kalimat terbata-bata. Namun, alih-alih mendapat dukungan, Bu Anita justru menatapnya dengan dingin. "Reno, kamu anak baru di sini. Jangan terlalu sensitif. Pak Darma itu orang baik, senior kita. Mungkin kamu hanya salah paham," ujarnya datar, sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke tumpukan berkas di mejanya.
Sejak saat itu, Reno merasa ada tembok tak kasat mata yang memisahkannya dari rekan-rekan kerjanya. Sapaannya tak lagi dijawab sehangat dulu. Bisik-bisik lirih terasa menusuk telinga. Dia merasa dikucilkan, dianggap pengganggu harmoni yang selama ini terjaga.
Puncaknya adalah ketika dia mendengar celetukan Pak Darma di ruang pantri, "Anak kemarin sore sok tahu soal etika. Kerja yang benar saja belum becus." Reno tahu, sindiran itu ditujukan padanya.
Hari ini adalah hari terakhir Reno bekerja. Kontrak paruh waktunya tidak diperpanjang. Dia tidak marah, justru merasa lega. Namun, sebelum benar-benar pergi, ada sesuatu yang ingin dia tinggalkan.
Di atas meja kerjanya, di antara tumpukan kertas dan pulpen bekas, Reno meletakkan sebuah bungkusan rapi. Di dalamnya terdapat beberapa buku dengan sampul yang mencolok, yang berjudul "Humor atau Pelecehan? Membedah Perilaku Sexual Harassing dalam bentuk Candaan."
Di atas bungkusan itu, Reno meninggalkan secarik kertas kecil bertuliskan tangan, "Kenang-kenangan dari teman yang 'terlalu sensitif'."
Reno menarik napas dalam-dalam, mengambil tas ranselnya, dan berjalan keluar dari ruangan itu untuk terakhir kalinya. Dia tidak tahu apakah "hadiah" perpisahannya akan dibaca atau hanya berakhir di tong sampah.
Namun, setidaknya, dia telah menyuarakan apa yang selama ini mengganjal di hatinya. Dia telah meninggalkan jejak perlawanan kecil terhadap budaya "keakraban" yang baginya terasa begitu menjijikkan dan merendahkan.
Di luar sana, matahari pagi Malang menyambutnya dengan kehangatan yang tidak pernah dia rasakan di kantor itu. Ada harapan baru yang bersemi di dadanya, harapan akan lingkungan kerja yang semoga lebih sehat dan saling menghargai.
Comments
Post a Comment