Warung Bu Sri vs Kafe Kota

Samid dikenal sebagai orang yang patriotik. Dia selalu mengedepankan produk lokal dan mendukung usaha kecil. Salah satu tempat favoritnya untuk menunjukkan rasa cintanya terhadap Indonesia itu adalah warung Bu Sri, yang terletak di ujung gang dekat rumahnya.

Suatu hari, ketika Samid sedang menikmati gorengan kesukaannya, temannya, Alex, lewat dan bergabung dengannya di warung Bu Sri.

"Samid, kamu masih makan di tempat seperti ini," kata Alex sambil melihat sekeliling warung yang sederhana. "Semalem, aku mencoba kafe baru di pusat kota, mereka menyajikan makanan dengan kualitas internasional dan suasana yang nyaman. Apa kamu tidak ingin mencobanya?"

Samid sedikit tersinggung, tetapi sambil tetap menikmati gorengannya, "Tidak!" jawab Samid ketus, "Itu karena kamu belum mencoba gorengan Bu Sri saja" tambahnya sambil mengambil Tahu Berontak lagi dan memakannya.

Bu Sri, si Pemilik Warung, tersipu malu mendengar pujian Samid itu.

Alex memang baru saja pulang dari kota. Dia membawa pengalaman baru dan pandangan yang berbeda tentang gaya hidup.

"Ngomong-ngomong, kamu tahu apa yang sebenarnya di balik kafe-kafe itu?" tanya Samid.

"Apa maksudmu?" tanya balik Alex dengan penasaran, dan secara tidak sadar ikut mengambil Tahu Berontak.

"Kafe-kafe besar itu ada yang dimiliki oleh orang-orang kaya, yang sudah kelebihan duit," kata Samid. "Mereka membangun waralaba-waralaba ini bukan untuk mendapatkan keuntungan, tapi bisa jadi untuk cuci uang atau menghindari pajak!".

Alex semakin penasaran. "Contohnya gimana?" tanya Alex.

"Contohnya, mereka bisa membeli bahan-bahan untuk dijual di kafe dengan harga tinggi dari rekanan yang mungkin juga sudah kongkalikong diantara mereka. Lalu mereka memberikan laporan keuntungan kafe yang tidak terlalu besar, kepada petugas pajak" jelas Samid. "Sehingga karena mereka juga harus memberi gaji karyawan, dengan keuntungan yang kecil tersebut, maka akan mengurangi pajak yang harus dibayarkan".

Alex mengangguk, tidak menyangka pengetahuan temannya sampai sejauh itu.

Samid juga menjelaskan, kafe-kafe itu juga bisa jadi tempat cuci uang. "Misalnya, seorang hakim mendapat suap 50 juta, dia dapat melaporkan pendapatan itu sebagai keuntungan dari kafe miliknya sebesar 60 juta, yang sebenarnya hanya 10 juta, agar si 50 juta itu terlaporkan sebagai hasil dari usaha yang sah" tambah penjelasan Samid.

Alex semakin kagum atas pengetahuan temannya tersebut, sampai tidak sadar, 10 Tahu Berontak di depannya ludes.

"Jadi jangan heran, banyak kafe yang sepi, tapi bisnis mereka tetap jalan-jalan saja" tanya Samid sembari mengambil tisu dan membayar Bu Sri.

Dan ketika Alex dan Samid beranjak pergi.

"Mas, Mas, Mas!" teriak Bu Sri.

"Kenapa Bu?" jawab Alex.

"Yang 10 Tahu Berontak, siapa yang bayar?" Kata Bu Sri sambil menunjukkan piring saji yang hampir kosong. 

Dengan nyengir malu, Alex membuka dompet dan mengeluarkan uang 10 ribu untuk membayar. "Maaf, saya kira sudah di bayar sama temen saya, gratis" katanya.

Dengan wajah cemberut, Bu Sri menerima pembayaran Alex sambil menggerutu "Gratis Gundul mu!".

Comments

Cerita dalam blog ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah ketidak-sengajaan penulis untuk jalannya cerita. Dan Blog ini adalah bagian dari Usaha di bawah nama branding Edugameapp yang menyediakan layanan berupa cerita pendek bergenre umum, humor dan horor yang diperuntukkan untuk pengguna internet dewasa.

Popular posts from this blog

Cerita Hantu Berantai episode I: Kampung

Cerita Hantu Berantai episode III: Kontrakan

Dibalik Naiknya Belanja Sri

Kisah Horor: Panggilan Ayah

Antara Karma dan Nasib

Sahur Sendiri bersama Kunti

Cerita Hantu Berantai episode II: Kantor

Dibangkitkan sebagai Pezina