Wudhu Es Teler
Matahari bersinar terik di atas lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja berbunyi, dan anak-anak berhamburan keluar kelas dengan riang gembira.
Namun, di tengah keriuhan itu, terlihat dua sosok kecil berlari tergesa-gesa menuju tempat Pak Guru sedang duduk di bawah pohon rindang. Mereka adalah Adit dan Dodit, dua murid kelas tiga.
Adit, dengan napas tersengal-sengal, tiba lebih dulu di hadapan Pak Guru. "Pak Guru! Pak Guru!" serunya dengan nada panik.
Pak Guru, yang sedang membaca buku, menurunkan kacamatanya dan menatap Adit dengan bingung. "Ada apa, Adit? Kenapa kamu terlihat begitu khawatir?"
"Itu, Pak Guru," Adit menunjuk ke arah Dodit yang baru saja tiba dengan wajah sedikit pucat. "Dodit batal puasanya!"
Pak Guru mengerutkan kening. "Batal puasa? Kenapa bisa begitu, Dodit?" tanyanya lembut.
Sebelum Dodit sempat menjawab, Adit sudah menyambung dengan semangat, "Tadi saya lihat sendiri, Pak Guru! Dodit ketahuan batal puasanya dengan wudhu!"
Pak Guru tersenyum kecil. "Wudhu tidak membatalkan puasa, Adit. Wudhu itu kan salah satu syarat sah salat, dan kita tetap harus berwudhu meskipun sedang berpuasa." Pak Guru menjelaskan dengan sabar.
Adit menggelengkan kepalanya dengan yakin.
"Tidak, Pak Guru! Saya lihat sendiri! Dodit wudhunya pakai es teler!" jelas Adit.
Mendengar penjelasan Adit, Pak Guru mengalihkan pandangannya ke Dodit dengan tatapan yang berubah tajam. Cengiran di wajah Dodit perlahan memudar, digantikan dengan ekspresi bersalah.
"Dodit... apa benar yang dikatakan Adit?" tanya Pak Guru dengan suara yang kini terdengar lebih tegas.
Dodit menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Pak Guru.
Dengan suara pelan, Dodit menjawab, "Iya, Pak Guru... tadi... tadi saya haus sekali..."
Pak Guru menghela napas panjang. "Dodit, kamu tahu kan kalau sedang berpuasa tidak boleh makan dan minum sampai waktu berbuka? Berwudhu itu memang tidak membatalkan puasa, tapi kalau kamu berwudhu sambil minum es teler di kamar mandi, itu jelas membatalkan puasa!"
Dodit hanya bisa mengangguk pelan, merasa malu ketahuan.
Pak Guru kemudian menasihati Dodit dengan lembut namun tetap tegas. "Dodit, puasa itu bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi juga melatih kesabaran dan kejujuran. Kamu tidak boleh berbohong dan mencari-cari alasan untuk membatalkan puasa. Kalau kamu memang tidak kuat berpuasa, lebih baik kamu bilang jujur, daripada diam-diam melakukan hal yang salah."
Dodit mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi menyesal. "Iya, Pak Guru. Maafkan saya."
Pak Guru mengusap kepala Dodit. "Baiklah. Sekarang, kamu harus janji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Dan kamu, Adit," Pak Guru beralih menatap Adit, "terima kasih sudah memberitahu Pak Guru. Tapi lain kali, jangan langsung menuduh ya. Tanyakan dulu baik-baik kepada temannya."
Adit mengangguk mengerti. "Baik, Pak Guru."
Comments
Post a Comment