Sowan Tahunan Ormas
Hiruk pikuk suara knalpot motor yang meraung-raung memecah ketenangan pagi di kawasan pabrik PT. Untung Terus.
Bendera-bendera ormas dengan warna-warni mencolok berkibar liar di antara debu jalanan yang beterbangan. Puluhan motor, dikendarai bapak-bapak dengan jaket kebesaran organisasi, mulai memadati area depan gerbang. Ini dia, tradisi "sowan" tahunan yang selalu membuat perut Pak Jaya, sang pemilik pabrik, terasa mulas.
Dua orang Satpam yang sedang berjaga di pos depan, berdiam diri tidak dapat menghadang atau pun meminta pulang, dan salah satunya berkomentar, "Wah, kali ini datangnya lebih pagi".
Dari balik jendela kantornya, Pak Jaya mengintip dengan kening berkerut. Di ruangan itu bersamanya duduk Pak Herman, manajer personalia yang tampak gelisah.
"Herman," tanya Pak Jaya tanpa mengalihkan pandangannya dari kerumunan di luar, "itu RUU TNI jadi disahkan atau belum sih?"
Pak Herman, yang sedang membolak-balik berkas, menjawab tanpa menatap Pak Jaya, "Sepertinya belum final, Pak. Masih ada beberapa pembahasan di DPR."
Pak Jaya mengangguk-angguk kecil. "Apa kita rekrut saja satu salah satu anggota TNI jadi kepala keamanan pabrik. Biar Ormas seperti ini segan."
Pak Herman menghentikan aktivitasnya dan menatap Pak Jaya dengan sedikit ragu. "Sepertinya bukan begitu Pak fungsi RUU-nya."
Pak Jaya mendengus pelan. "Kebiasaan yang memberatkan. Tahun kemarin mereka minta 50 juta, sebelumnya 25 juta, jumlah yang cukup untuk menggaji satu orang buruh untuk setahun. "Dia kembali menatap kerumunan di luar. "Padahal kamu tahu sendiri kan, beberapa keluarga mereka juga sudah jadi pekerja di sini. Anak Pak Slamet itu kan operator mesin jahit, keponakannya Pak Budi juga di bagian gudang."
Pak Herman menghela napas pelan. "Saya tahu, Pak. Tapi memang ada alasan lain kenapa mereka masih sering meminta 'perhatian' seperti ini."
"Alasan lain apa lagi?" tanya Pak Jaya dengan nada tidak sabar.
"Beberapa kali mereka menyampaikan keluhan soal limbah pabrik kita. Mereka merasa udara dan air sungai di belakang kampung jadi tidak bersih lagi, sawah juga hasilnya menurun. Mereka menganggap kita mencemari lingkungan mereka," jelas Pak Herman dengan suara hati-hati.
Pak Jaya tertawa sinis. "Ah, alasan klasik! Dulu juga begitu. Padahal kita sudah bayar pajak, CSR, kompensasi dan bahkan punya instalasi pengolahan limbah, meskipun ya… mungkin tidak seratus persen sempurna. Tapi tetap saja mereka cari-cari alasan. Ini murni soal tradisi 'jatah Lebaran' saja, Herman. Alasan para pengangguran."
Pak Jaya merasa lesu dan duduk di kursinya, "Sebenarnya, aku kerja ini untuk siapa? Untuk diriku sendiri atau ...," Pak Herman yang mendengarkan keluhan atasannya, sebagai bawahan hanya bisa terdiam.
"Saya punya ide." kata Pak Jaya sambil tersenyum licik, tatapannya kembali tertuju pada rombongan Ormas yang mulai bergerak menuju kantor. "Mari kita sambut 'tamu-tamu' kita, Herman."
Tak lama kemudian, seorang bapak berkumis tebal, ketua Ormas dengan emblem burung elang di dadanya, mengetuk pintu ruangan. Di belakangnya, beberapa ketua Ormas lain tampak canggung namun penuh harap.
"Assalamualaikum, Pak Jaya!" sapa sang Ketua dengan suara berat yang berusaha terdengar ramah.
Pak Jaya memaksakan senyum lebar. "Waalaikumsalam, Pak Slamet. Silakan, silakan masuk. Mari kita ngobrol."
Ruang pertemuan yang biasanya digunakan untuk membahas target produksi, kini dipenuhi asap rokok kretek yang mengepul dari beberapa batang yang sudah tersulut.
Setelah semua duduk, dan perbincangan basa-basi tentang kabar kampung dan panen yang kurang memuaskan, sang Ketua, Pak Slamet, berdeham pelan. Dia meraih sebuah map lusuh dari pangkuannya dan menyodorkannya kepada Pak Jaya.
"Begini, Pak Jaya," katanya dengan nada sedikit gugup namun berusaha mantap, " maksud kedatangan kami seperti tahun-tahun sebelumnya. Ini ada proposal dari kami, untuk Tunjangan Hari Raya anggota Ormas kami."
Pak Jaya menerima map itu dengan ujung jari, seolah benda itu mengandung penyakit menular. Dia membukanya perlahan, membaca sekilas lembaran kertas yang berisi daftar nama anggota dan angka permintaan THR yang, seperti dugaannya, tahun ini naik menjadi 100 juta. Di sudut matanya, dia melihat Pak Herman menghela napas pelan.
"Pak Slamet," kata Pak Jaya dengan nada dibuat-buat ramah, "proposalnya sudah saya terima. Seperti biasa, akan kami pertimbangkan sesuai dengan kemampuan perusahaan." Dia meletakkan map itu di atas meja, tidak menyentuhnya lagi. "Tapi, Pak Slamet dan Bapak-bapak sekalian, tahun ini ada sedikit perbedaan dalam kebijakan perusahaan kami terkait… ya, bisa dibilang, kontribusi timbal balik."
Pak Jaya memulai "pertunjukan"-nya.
"Bapak-bapak yang saya hormati," dia membuka percakapan dengan nada penuh semangat palsu, "Tahun ini, PT. Untung Terus tidak hanya ingin sekadar berbagi kebahagiaan Lebaran. Kami punya penawaran yang jauh lebih istimewa, sebuah kesempatan emas untuk masa depan organisasi bapak-bapak. Sekalian untuk mengembangkan pabrik kami."
Tawa kecil canggung terdengar di antara para ketua Ormas. Mereka saling pandang, tidak mengerti arah pembicaraan ini. Biasanya, setelah basa-basi singkat, amplop berisi uang tunai akan dibagikan.
Sementara Pak Herman sedang sibuk sendiri bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya akan dilakukan atasannya itu. Dia menebak-nebak, ini acara bagi-bagi THR atau seminar motivasi.
Pak Jaya kemudian menunjuk layar proyektor yang menampilkan grafik-grafik rumit dan istilah-istilah keuangan yang asing di telinga mereka. Seperti dividen, ekuitas, return on investment, dan lain sebagainya.
"Kami menawarkan 'Saham Preferen Lebaran' khusus untuk Bapak-bapak. Dengan harga yang sangat bersahabat, dan potensi keuntungan yang berlipat ganda setelah hari raya. Bayangkan, bapak-bapak tidak hanya menerima THR, tapi juga menjadi bagian dari pemilik perusahaan ini!"
Pak Budi, seorang ketua Ormas yang lebih sering berurusan dengan urusan keamanan kampung daripada investasi, memberanikan diri bertanya, "Saham itu… bagaimana cara kerjanya, Pak?"
Pak Herman mencoba menjelaskan dengan singkat dan penuh kehati-hatian. "Intinya, jika Bapak-bapak menanamkan dana satu milyar di pabrik kami, dan diharapkan Bapak-bapak akan mendapatkan keuntungan 100 juta per tahunnya." Dia menghindari penjelasan tentang risiko dan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya sedang tidak terlalu baik.
Pak Budi yang mulai mengerti, "Lalu, bagaimana kami mendapatkan dana sebanyak itu?"
Dengan santai Pak Jaya menjawab, "Bapak-bapak bisa patungan, pinjam ke bank, atau gadaikan sertifikat tanah dan bangunan sekretariat Ormas Bapak-bapak."
Para ketua Ormas saling bertukar pandang. Tawaran Pak Jaya ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, potensi keuntungan yang besar sangat menggiurkan. Seratus juta per tahun, jauh lebih besar dari 'jatah Lebaran' yang mereka terima selama ini. Di sisi lain, risiko kehilangan dana organisasi, bahkan menggadaikan aset, sangat menakutkan.
Pak Slamet, sang ketua berkumis tebal, menggaruk-garuk dagunya. "Ini... ini menarik, Pak Jaya. Tapi kami perlu waktu untuk mempertimbangkannya. Ini bukan keputusan kecil."
"Tentu, Pak Slamet," jawab Pak Jaya dengan senyum yang tidak sampai ke matanya. "Saya mengerti. Tapi jangan terlalu lama, ya. Kesempatan emas seperti ini tidak datang dua kali."
Tiba-tiba, Pak Budi menyuarakan keraguan. "Bagaimana kalau pabriknya tidak untung, Pak? Atau bangkrut?"
Pak Jaya menjawab, "Betul, Pak Budi. Kami juga berpotensi bangkrut. Setiap investasi selalu ada risikonya. Tidak ada jaminan seratus persen. Tapi coba Bapak pikirkan sekali lagi, Bapak-bapak sekalian hari ini hadir menagih kami 100 juta tanpa imbal balik investasi apapun sebelumnya. Mungkin tahun depan naik 200 juta. Padahal kami juga telah membayar pajak, kompensasi, penanganan limbah, membuka lapangan pekerjaan atau apapun kewajiban kami sebagai pihak industri. Bagaimana kami bisa dapat untung?"
Suasana di ruangan itu menjadi tegang. Para ketua Ormas terpecah, sebagian pro, sebagian kontra, dan ada juga yang cuma "Iya, ya."
Pak Slamet akhirnya berdiri. "Baiklah, Pak Jaya. Kami akan berunding. Kami akan memberikan jawaban secepatnya."
Pak Jaya mengangguk. "Saya tunggu kabar baik dari Bapak-bapak."
Para ketua Ormas itu kemudian meninggalkan ruangan, membawa proposal saham preferen dan beban pikiran yang berat. Mereka harus membuat keputusan sulit, yang akan menentukan masa depan mereka.
Pak Herman yang juga baru mengerti maksud atasannya itu, memberikan apresiasi dengan tepuk tangan dan acungan jempol sambil berkata, "Ide yang bagus, Pak. Saya berharap mereka belajar bahwa pabrik kita bukan hanya dianggap sebagai mesin ATM yang uangnya dapat diambil seenak jidat mereka."
Setelah itu, para ketua Ormas berkumpul di sebuah warung kopi sederhana. Asap rokok mengepul bercampur dengan aroma kopi yang menyengat. Suara mereka meninggi, berdebat sengit mengenai tawaran Pak Jaya.
"Gila! Satu milyar? Kita mau cari dari mana uang sebanyak itu?" Pak Budi menggebrak meja, kopi di cangkirnya tumpah.
"Tapi coba pikirkan, Bud. Seratus juta per tahun! Itu jauh lebih besar dari 'jatah' kita selama ini," timpal Pak Kasman, ketua Ormas lain yang terlihat lebih tertarik dengan tawaran itu.
"Itu kalau untung! Kalau pabriknya bangkrut, bagaimana? Kita kehilangan segalanya!" Pak Slamet, sang ketua berkumis tebal, mengingatkan.
Perdebatan terus berlangsung selama berjam-jam. Sebagian besar anggota Ormas merasa takut dengan risiko yang terlalu besar. Namun, sebagian kecil lainnya tergiur dengan potensi keuntungan yang menggiurkan.
Akhirnya, setelah perdebatan panjang dan melelahkan, mereka mencapai sebuah keputusan.
Beberapa hari kemudian, Pak Slamet kembali mengetuk pintu ruangan Pak Jaya. Wajahnya terlihat lelah, namun tegas. Di belakangnya, beberapa ketua Ormas lain tampak tegang.
"Bagaimana, Pak Slamet? Apa keputusan Bapak-bapak?" tanya Pak Jaya dengan senyum.
Pak Slamet menarik napas dalam-dalam. "Setelah mempertimbangkan dengan matang, Pak Jaya, kami memutuskan untuk menerima tawaran saham preferen ini."
Senyum lebar merekah di wajah Pak Jaya. "Saya sangat senang mendengar keputusan ini, Pak Slamet! Ini adalah langkah yang cerdas. Mari kita bangun PT. Untung Terus ini bersama-sama."
Pak Jaya kemudian menjabat tangan Pak Slamet dan para ketua Ormas lainnya. Dia menjelaskan detail lebih lanjut mengenai investasi saham preferen tersebut.
Awalnya, beberapa ketua Ormas masih terlihat bingung dengan istilah-istilah keuangan yang disampaikan. Namun, Pak Jaya dan Pak Herman dengan sabar dan bahasa yang sederhana, berusaha menjelaskan konsep kepemilikan, keuntungan, dan risiko dalam berinvestasi.
Sampai akhirnya, beberapa bulan berlalu. PT. Untung Terus, berkat suntikan dana segar dari para "pemegang saham" lokal, berhasil mengembangkan lini produksi dan memperluas pasar. Keuntungan perusahaan pun meningkat signifikan.
Saat pembagian dividen pertama tiba, para ketua Ormas terkejut dengan jumlah uang yang mereka terima. Itu jauh melebihi "jatah Lebaran" yang pernah mereka dapatkan.
Dalam pertemuan pembagian dividen berikutnya, Pak Budi, yang dulu paling skeptis, memberanikan diri bertanya kepada Pak Jaya. "Pak Jaya," katanya dengan nada hormat, "dulu kami sempat ragu dengan tawaran Bapak. Jujur saja, kami lebih terbiasa dengan 'cara lama'. Tapi setelah merasakan hasilnya, kami jadi berpikir, ternyata menjalankan pabrik itu tidak mudah."
Pak Jaya tersenyum bijak. "Pak Budi, Bapak-bapak sekalian," jawabnya dengan tenang, "Memberikan sejumlah uang setiap tahun memang terlihat mudah dan mungkin menyelesaikan masalah sesaat. Tapi saya berpikir, bagaimana caranya agar kita semua bisa maju bersama dalam jangka panjang. Uang 'jatah' itu saya yakin habis dalam sekejap saat Lebaran. Tapi dengan menjadi pemilik saham, Bapak-bapak tidak hanya mendapatkan keuntungan materi, tetapi juga belajar tentang bagaimana sebuah perusahaan berjalan, bagaimana uang bekerja, dan bagaimana cara mengembangkan aset."
Pak Slamet mengangguk-angguk, matanya menunjukkan pemahaman yang baru.
"Jadi, dengan begini, Bapak-bapak bisa senang, saya juga senang, dan kita semua juga senang," tutup kata Pak Jaya.
Para ketua Ormas saling pandang. Mereka mulai menyadari bahwa di balik tawaran "Saham Preferen Lebaran" itu, terselip sebuah niat mulia dari Pak Jaya. Beliau tidak hanya ingin mengatasi tradisi "sowan" yang memberatkan, tetapi juga ingin memberikan edukasi finansial dan membuka wawasan para ketua Ormas tentang dunia bisnis dan investasi.
Pak Jaya merasa lega dan bangga. Usahanya untuk mengedukasi para "tamu" tahunannya itu akhirnya membuahkan hasil yang jauh lebih berharga daripada sekadar menghilangkan tradisi yang memberatkan. Hubungan yang dulunya tegang, kini telah bertransformasi menjadi kemitraan yang saling menghormati dan menguntungkan.
Comments
Post a Comment